“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”  Ah, sebaris kalimat ini sudah lupa kapan aku pertama kali mendengarnya. Setahuku kalimat itu sering diucapkan ustaz-ustaz di masjid kampungku, guru mata pelajaran agama Islamku; dari SD sampai SMA, dan beberapa kali kudengar di kampus digunakan oleh aktivis pendakwah. Kalimat milik Ali bin Abi Thalib itu, mau tak mau, membuatku teringat kembali pada masa-masa SD dulu. Tiap kali akan datang tahun ajaran baru, setiap anak oleh ibunya akan dibelikan selusin buku tulis dan seperangkat alat tulis. Ya, waktu itu mencatat adalah bagian terpenting dari sekolah. Dalam 12 jam kami sekolah, barangkali separuhnya kami habiskan untuk mencatat. Kami sama sekali tak mau ketinggalan seharipun untuk mencatat. Jika itu terjadi, kami rela meminjam buku teman dan menyalinnya di rumah. Namun setelah sebuah toko poto kopi ada di kampung kami, beberapa temanku yang memiliki uang jajan lebih mulai enggan mencatat. Ia lebih senang meminjam catatan temannya untuk difotokopi.

Beranjak SMP, kami mulai dikenalkan komputer. Mencatat tak lagi membutuhkan buku selusin dan bolpoin. Ia cukup menekan tombol power komputer. Maka tuts-tuts keyboard siap memunculkan kata-kata rapih, proposional, dan tak naik-turun macam SD dulu. Aktifitas mencatat sedikit berkurang. Materi pelajaran tinggal salin filenya dan cetak. Beda lagi ketika SMA, hampir separuh kelas telah memiliki laptop. Ah, mereka pasti tak kecapekan karena menulis tangan. Tinggal minta file materi dari guru, lantas membacanya di rumah. Jadi tak perlu keluar biaya untuk cetak materi. Apalagi dengan adanya internet, pasti mereka jauh lebih pintar dari kami yang masih membawa buku tulis.

Kejadian seperti ini membuat kami, yang masih mencatat, enggan mencatat lantaran iri dengan mereka. Buat apa kami capek-capek mencatat kalau toh nanti buku catatan kita bakal diloakan ibu. Kalaupun masih, itu pasti sudah dimakan rayap dan akan berakhir diloakan ibu juga. Dari sini kami mulai lepas dari kegiatan mencatat. Catatan kami selama setahun yang biasanya hampir penuh, setengah buku pun tak sampai. Dan di perguruan tinggi, benar-benar menghapus budaya itu. Bagaimana tidak, semuanya telah punya komputer pribadi. Sedang semua materi dosen berupa file ppt dan doc. Apalagi gawai sudah serentak digunakan mahasiswa. Apa-apa tinggal sentuh layarnya saja.

Rupa-rupanya mencatat bukan lagi diartikan sebagai kegiatan mengikat ilmu. Kata-kata Ali bin Abi Thalib sudah kadaluarsa, sebab mengikat ilmu tak harus dengan menuliskannya. Mahasiswa tinggal menyimpan filenya. Maka ilmu, kapanpun dan dimanapun siap untuk dibuka dan dibaca.

***

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Ya, menulis telah berubah menjadi pembuktian eksistensi individu. Seorang individu mencatat untuk mencipta tulisan yang memiliki nilai, entah sejarah, sastra, ataupun kritik. Contohnya Pramoedya Ananta Toer, si pemilik qoutes di atas. Ia menuliskan sebuah karya sastra yang berbau sejarah, lengkap dan runtut, sebagai sebuah kritik pada masyarakat yang lupa akan sejarahnya sendiri. Karya yang ditulis di Pulau Buru itu sempat tidak boleh terbit oleh rezim orde baru lantaran dituduh berbau komunis. Padahal pemerintah pada waktu itu takut, jika sewaktu-waktu rakyat mulai sadar dan melakukan perlawanan. Sebab seorang pemuda bernama Wiji Thukul dengan puisi berjudul ‘Peringatan’ telah membuat aksi massa dari buruh-buruh pabrik batik di Solo yang menuntut upah layak. Ia tulis dalam sebaris terlakhir yang berbunyi, “Maka hanya ada satu kata: lawan!

Agaknya tulisan telah menemukan fungsinya. Ia tak lebih sebagai alat untuk perlawanan. Seperti munculnya kesadaran itu, orde baru pun mulai sadar bahwa kekuasaannya bisa saja roboh oleh sebuah karangan belaka. Maka sensor terhadap pers dan penerbit-penerbit dilakukan melalui kementrian penerangan. Jika ada satu pers yang berlebihan mengkritik atau dalam bahasa Wiji itu subversif, maka pemerintah akan langsung membredelnya. Bukan sebuah kebetulan jika kemudian pada tahun 1982 majalah Tempo dibredel karena mengkritik keras rezim orde baru dan partainya, Golkar. Di tahun 1994, Tempo kembali dibredel bersama Detik, dan Editor karena memberitakan korupsi pembelian kapal perang bekas Jerman Timur yang semula hanya USD 12,7 Juta menjadi 62 kali lipat jadi USD 1,1 Miliar.

Oleh karena itu Gunawan Muhammad mengatakan, orang rupanya sudah tidak dapat lagi membedakan antara mengkritik dan menjatuhkan. Kalau kita mengkritik bukan berarti menjatuhkan, minimal membantu mengingatkan. Maka kasus-kasus pembredelan pers mahasiswa oleh rektorat akhir-akhir ini sangatlah tidak etis. Bagaimana tidak, sebagai orang terpelajar, paham teori, tahu etika, bergelar profesor pula. Kok sampai bisa-bisanya membungkam aspirasi mahasiswanya. Dimana sisi keterbukaannya? Apakah karena dia punya kuasa lantas ia semena-mena? Apa bedanya ia dengan rezim orde baru? Kalau petinggi universitas saja seperti ini, jika ada anggota DPR atau pemerintah semena-mena. Sekarang kita tahu siapa yang salah.

Yang perlu dipahami, sebuah tulisan juga memiliki daya tawar. Ia adalah senjata. Salah-salah bisa melukai diri sendiri.Maka benar kata Pramoedya, menulis adalah sebuah keberanian. Benar pula kata Wiji dalam puisi berjudul Sajak Suara: Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata….apabila kau tetap bertahan, aku akan memburumu seperti kutukan.Wiji mengartikan bahwa suara juga kata. Barangkali Wiji melihat bahwa orde baru adalah rezim dengan kuping bebal; tuli.Jadilah kata-kata senjata yang abadi dan tak mati-mati.

Maka ketika orasi ribuan mahasiswa disangka simulasi, demonstrasi dinilai cari sensasi, dan pemerintah seolah mendengar tapi hanya diam. Tulislah dalam opini 5000 karakter. Kirim ke koran-koran. Sebab kadangkala tulisan jauh lebih tajam ketimbang demonstrasi yang berujung makan malam (baca: kompromi).

Lutfi Khakim

Pimpinan Umum LPM Motivasi 2016

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment