Judul : Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Penulis : HAMKA
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun terbit : 2013
Tempat terbit : Jakarta
Cetakan : Cetakan I (Edisi Revisi)
Tebal : 264 halaman
ISBN : 9789796909971
Novel ini menceritakan tentang kisah cinta dua insan, tapi dipisahkan oleh tradisi adat. Kisah cinta abadi dari Zainuddin dan Hayati yang tak lekang oleh waktu, terpisah oleh pincangnya adat di negeri Minang. Minangkabau sebagai salah satu suku yang memegang teguh adat dan tradisi. Keturunan dan kekayaan menjadi segala-galanya. Cinta suci Zainuddin untuk Hayati terhalang oleh keturunan dan kemiskinan. Zainuddin mencintai Hayati yang merupakan keturunan bangsawan Minangkabau. Zainuddin yang merupakan keturunan campuran Minang dan Bugis, tidak mendapat pengakuan sebagai suku Minang asli, karena ibunya bersuku Bugis. Cinta mereka pun terhalang dan Hayati menikah dengan Aziz, seorang Minang asli yang kaya. Mendengar pernikahan antara Hayati dan Aziz, membuat Zainuddin jatuh sakit. Akan tetapi, berkat dorongan dari Muluk, sahabatnya yang paling setia, kondisi Zainuddin berangsur membaik. Kemudian, Zainuddin dan Muluk pergi ke Pulau Jawa, tinggal pertama kali di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Karena alasan pekerjaan, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati. Seiring berjalannya waktu, hubungan Aziz dan Hayati tidak baik lagi. Setelah Aziz dipecat, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin. Aziz menyadari bahwa Zainuddin lebih pantas untuk Hayati. Akhirnya, Aziz memutuskan untuk pergi ke Banyuwangi. Ia meninggalkan sepucuk surat yang menyatakan ia telah mengikhlaskan Hayati untuk Zainuddin. Kemudian Aziz mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Rasa cinta Zainuddin pada Hayati sebenarnya masih kuat. Akan tetapi, mengingat Hayati itu sudah menikah dan bersuami, cintanya ia pendam. Hayati diminta untuk pulang ke Padang menaiki kapal Belanda termewah, yaitu kapal Van der Wijck yang berlabuh ke laut Andalas. Kapal ini kemudian tenggelam di pesisir utara pulau Jawa. Nyawa Hayati tidak dapat diselamatkan. Zainuddin menyesal atas keputusannya menyuruh Hayati kembali ke Padang. Pada saat-saat terakhir hayatnya, Hayati masih sempat mendengar dan melihat bahwa sebenarnya Zainuddin masih sangat mencintainya, namun semua itu sudah terlambat.
Setelah Hayati meninggal dalam peristiwa itu, Zainuddin setiap hari mendatangi makam Hayati. Ia hidup dalam bayang-bayang cintanya yang tetap bersemi di dalam hatinya. Zainuddin semakin rapuh dan sakit-sakitan. Hingga setahun kemudian, Zainuddin menyusul Hayati ke alam abadi. Zainuddin meninggalkan harta benda yang melimpah dan karya-karya sastranya yang indah. Saat maut menjemputnya, Zainuddin menyelesaikan kisah hikayat cintanya bersama Hayati dalam tulisan terakhirnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Zainuddin dikebumikan berdampingan dengan Hayati, sang cinta abadinya.
Alur cerita menarik sehingga membuat pembaca seakan-akan masuk ke dalam cerita. Selain itu, amanat yang terkandung di dalamnya tersampaikan dengan baik. Tentu, di dalam sebuah buku pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pemilihan kata yang digunakan kurang tepat sehingga membingungkan para pembaca. Penggunaan bahasa Minang yang terlalu banyak membuat pembaca bosan dan bingung. Selain itu, terdapat banyak pemborosan kata. Terlepas dari segala kekurangan yang ada, novel ini cocok dibaca karena pesan ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Akan tetapi, novel ini tidak cocok dibaca untuk anak-anak karena bahasanya yang sulit dipahami.
Annisa Fauziah_