Home Cerpen Telepon Tua

Telepon Tua

by admin
0 comment

“Ayo Kek!” teriakku dari depan rumah persegi sederhana ini sambil meletakan keranjang arang yang hanya disahut senyum keriput kakek dari balik pepohonan. Dua belas tahun aku hidup hanya bersama dengan kakek di ujung desa dekat hulu sungai pasca ibuku merantau dan menghilang di negeri seberang.

Hari-hari kami berjalan layaknya warga desa biasa, pagi hari kami menjual arang di pasar lalu memotong kayu dan membakarnya kemudian berkebun hingga sore. Terkadang kami memancing dan menangkap hewan liar untuk lauk makan malam dan cukup untuk sampai esok hari.

Tidak banyak yang ada di rumah kakek, jika kalian masuk akan disambut sebuah ruangan dan melihat dua pintu diujungnya, yang satu kamar kakek yang satunya lagi kamarku, lalu ada dapur kecil yang disekat dinding bambu di sisi kiri dan dua pasang kursi serta satu meja panjang di pojok ruangan sisi lainya dengan sebuah telepon tua dan radio yang menggantung di dekat daun jendela.

Kulihat kakek sangat sayang dengan telepon itu, selalu diusapnya sepulang berkebun seraya mendengarkan siaran radio yang suaranya terdengar samar-samar. Aku berkernyit dan selalu bertanya-tanya “Untuk apa telepon itu?” Kakek hanya menjawab “Nanti juga ada yang menelepon”.

Hari itu petang terasa datang begitu cepat, kulihat ke arah langit terlihat awan gelap menggumpal dari arah barat, nampaknya akan segera hujan.

Kakek memanggilku untuk memeriksa eraman arang dan segera pulang. Belum sempat kami sampai di rumah, angin berhembus dengan kencang dan merobohkan beberapa pohon sepanjang jalan kami pulang dan hujan mengguyur begitu derasnya, kami berdua basah kuyup.

Kami melihat banyak air yang mengalir dan benar saja ternyata sungai di dekat rumah meluap, kami berlari dan segera membuat parit untuk menyekat air agar tidak membanjiri rumah. Paritpun jadi, walau tak terlalu dalam kata kakek sudah ukup.

Kami segera masuk rumah dan mandi. Malampun tiba, hawa dingin menusuk melalui celah dinding, aku duduk di seberang kakek sambil meniupi tangan sambil sesekali mengintip jendela karena aku sedikit khawatir jika kami tertidur parit yang kami buat sore tadi meluap dan rumah ini kebanjiran namun kakek nampak tenang seraya meminum teh dan mengusap telepon kesayanganya.

Tanpa kusadari aku tertidur di kamarku, dan nampaknya hujan mulai mereda.

Saat sepenuhnya mataku terbuka gelap gulita menyelimuti, “Tak biasanya kakek mematikan lampu,” gumamku.

Aku keluar kamar dengan sarung di leher mencoba memeriksa kakek yang tertelungkup di atas meja memeluk telepon tuanya di depan lampu minyak.

“Kek, bangun ayo pindah ke kamar” ucapku menggoyang badanya seraya menyelimuti kakek dengan sarungku di punggungya yang terasa sangat dingin, saat kepalanya tergulai aku sadar kalau kakek sudah tidak lagi bernafas karena tak terlihat gerak kembang kempis dari tubuhnya, wajahnya sudah membiru dan tubuhnya kaku.

Aku terperanjat dan kucoba memberanikan diri mengangkat tubuhnya dari kursi, tubuhku menggigil dan kakiku gemetar tak kuat memapah kakek akhirnya aku menyeret tubuh kakek dan meletakanya ke atas kasur.

Kutidurkan ia dan menutupinya dengan kain, aku berencana meminta bantuan warga dan menguburkanya esok hari karena hujan masih belum reda.

Cahaya dari lampu minyak mulai meredup, keringat dingin menghiasi wajahku, aku hanya terduduk di kursi tak bisa tidur.

Tiba-tiba, listrik kembali menyala lampu bohlam satu-satunya di rumah kakek berkelip seperti biasanya sebelum nanti menyala sepenuhnya saat panas. Kutiup lampu minyak di atas meja dan meletakan di dapur.

Ku dengar sayup-sayup hujan yang kembali menyerbu, lalu telepon kakek berdering terkejut aku dibuatnya “Siapa juga yang menelepon tengah malam begini,” pikirku, gemetar tanganku mengangkat gagang telepon dan mencoba meletakanya di telinga.

“Hallo?” ucapku, namun hanya bunyi tarikan nafas berat dan kata “Ayo” dengan suara serak yang kudengar, cukup lama tak ada suara telepon itupun kututup.

Kuletakan kembali gagang telepon kakek dan tiba-tiba merasa ada yang menepuk pundaku dari belakang yang seketika membuat pandanganku memudar hal terakhir yang kudengar adalah bunyi langkah kaki dan sebersit bayangan hitam sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.

Sinar matahari menusuk mataku, aku terperanjat dari tempatku tidur dan teringat kakek lalu memeriksanya di kamar yang ternyata sudah tidak ada aku panik berlari keluar rumah untuk meminta bantuan pada warga sekitar namun betapa terkejutnya aku melihat kakek yang nampaknya baru kembali dari pasar dengan keranjang kosongnya.

Sugeng_

Sumber Foto : Google

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment