‘Halila, mari bertemu besok siang di tempat dulu’ sebuah pesan singkat dari nomor tidak dikenal. Namun aku sudah yakin siapa pengirimnya, nomor yang sudah kuhapal di luar kepala.
“Bodoh bodoh bodoh,” tangisku pecah akhirnya setelah sekian lama tidak menangis. Tak henti hentinya aku menepuk dada kiriku dengan kepalan tanganku sendiri. Rasa menyesal itu selalu datang dikala melihat diriku bisa hidup bahagia tanpa memikirkan sosoknya yang sudah kehilangan impiannya karenaku.
Lelaki itu yang selalu sabar mendengar cerita dan keluh kesahku. Menasihati untuk selalu tak pantang menyerah akan impian dan yang selalu bersemangat untuk menceritakan impiannya menjadi atlet sepak bola di masa depan.
“Doakan ya semoga aku bisa lolos seleksi timnas, tahun ini kesempatan terakhirku karena tahun depan kemungkinan umurku sudah tidak masuk sebagai kriteria pemain,” ucapnya penuh harap.
‘doakan ya’ kata yang selalu terngiang-ngiang di kepala setelah kejadian itu. Dia meminta didoakan bukan dihancurkan impiannya. Impiannya yang selalu ia dambakan, yang kini sudah tak mungkin bisa tercapai. Ya memang, kejadian semua itu karena diriku.
“Halo Yudha, bisa tolong jemput aku segera di parkiran gedung C? Takut keburu hujan nih nanti, tolong buruan ya!”
“Oke lima menit sampai,” jawabnya.
Menit demi menit sudah berlalu, langit semakin menggelap dan hujan sudah mulai turun sedikit demi sedikit. Namun, sang lelaki bermotor hitam CBR itu tak kunjung datang.
Gawaiku tiba-tiba berdering menandakan adanya telepon masuk, “Halo dengan temannya mas Yudha? Ini saya Kamaludin dari Rumah Sakit Harapan mau mengabarkan bahwa Mas Yudha saat ini sedang dirawat di IGD karena telah mengalami kecelakaan tunggal.”
Seminggu semenjak terjadinya kecelakaan, aku hanya beberapa kali menjenguknya itupun hanya di depan pintu tak berani masuk di kamar inapnya. Aku sudah tahu apa yang sudah dialami Yudha, ia mengalami cedera parah hingga kaki sebelah kanannya harus diamputasi, yang artinya dia tidak bisa kembali bermain bola dan melanjutkan impiannya sebagai pemain timnas.
Rasa bersalah yang kian membesar hingga tak sanggup menemuinya, aku memilih untuk pergi menjauh tanpa mengabarinya, padahal akulah yang penyebabnya hingga ia kehilangan kaki sebelah kanannya.
Bertahun tahun sudah kulalui dan mencoba untuk menghindarinya, hingga akhirnya ia mengirimkan pesan singkat. Perasaan yang sudah lama kupendam dan usaha untuk melupakannya menguap sudah. Namun, permintaan maaf yang belum pernah kuucapkan dari dulu membuatku semakin bersalah untuk mengabaikan pesannya.
Setelah berpikir panjang akhirnya aku memutuskan untuk membalas pesannya
‘Sekarang saja’ balasku singkat sembari menyiapkan hati untuk bertemu dengan sosoknya
“Aku bilang besok Lila, bukan hari ini, sungguh merepotkan ya kamu,” suara lelaki yang sudah tak kudengar selama lima tahun ke belakang kini bergema di telingaku.
Aku tak berani menatapnya matanya, hanya menunduk lalu melirik kaki kanannya yang tertutup celana jeans yang terlihat lebih ramping daripada kaki kiri.
Mengerti apa yang sedang kulihat, “Kamu mau lihat kaki palsuku? Pasti kamu belum pernah lihat kaki keren seperti ini,” ucapnya sembari menyingkap sedikit celana yang ia pakai.
“Maaf Yudha, maafkan aku sudah menghancurkan impianmu, membuatmu kehilangan kesempatan hanya karena aku meminta jemput,” aku menangis sembari menangkupkan muka dengan kedua tangan.
“Gapapa Lila, Tuhan udah kasih kesempatan untuk hidup aja aku udah bersyukur banget. Kalo dari buku yang pernah aku baca, jangan terlalu memikirkan hal-hal diluar kendali kita, karena kita hanya punya kendali atas waktu yang Tuhan kasih untuk kita,” ia mengelus punggungku lembut dan aku yang sedang berusaha untuk meredakkan tangisku.
“Kenapa kita cuma bisa mengendalikan waktu yang diberikan Tuhan sama kita aja?” Tanyaku sambil menghapus air mata.
“Iya Lila, kita memang tidak bisa mengendalikan hal-hal yang bukan kuasa kita seperti kejadian di masa lalu. Jadi kalau Tuhan masih memberikanku umur yang panjang, Tuhan pasti sudah menyiapkan takdir yang baru untukku yang pastinya lebih baik, intinya tugasku hanya bisa berdoa dan berserah diri pada Tuhan saja. Karena pada dasarnya rencana Tuhan pasti lebih indah daripada impian kita sendiri,” ucapnya tersenyum tulus.
“Lalu, bagaimana jika kesempatan untuk menggapai impian saja sudah hilang?”
“Selama masih ada waktu dan kita nggak pernah berhenti buat mencoba lebih banyak hal lagi, kita selalu punya banyak kesempatan untuk belajar hal-hal yang baru. Dengan aku nggak jadi pemain bola, hikmahnya aku bisa belajar banyak hal yang baru yang mungkin bisa saja aku lewatkan jika aku tetap bermain bola. Jadi Lila tolong ambil positifnya saja ya dari kejadian dulu, aku sudah memaafkanmu dan memang ini sudah takdirku.”
Aulia Fatin_