Home Resensi Sudut Pandang dari Dilan

Sudut Pandang dari Dilan

by admin
0 comment

Jangan rindu. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja. – Dilan

Salah satu kutipan dari Dilan ini sudah melebar, bahkan ada juga yang dipelesetkan untuk humor. Kalian pasti tak asing dengan kutipan tersebut, bukan? Mungkin kalian juga sudah mengenal novel seri pertamanya yang berjudul Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990 dan novel seri keduanya yang berjudul Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991. Buku garapan Pidi Baiq atau biasa dikenal dengan Ayah Pidi ini, menceritakan tentang kisah cinta nyata antara Milea dan Dilan pada masa putih abu-abu di kota Bandung pada tahun 1990-an.

Berbeda pada novel pertama dan kedua yang berjudul Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991 menggunakan sudut pandang Milea. Novel seri ketiga berjudul Milea, Suara dari Dilan menggunakan sudut pandang dari Dilan.

Dalam novel ketiga ini, Dilan akan membagikan sudut pandangnya yang sebelumnya tidak tercantum di novel seri pertama dan kedua.

Dilan memulai cerita di seri ketiga dengan latar belakang keluarganya. Ada cerita tentang bundanya yang ia biasa panggil Bundahara jika ia sedang minta uang, atau Sari Bunda ketika ia lapar. Ada cerita tentang ayahnya yang merupakan tentara, hingga masa kecil Dilan, dan hal-hal lain yang luput dari catatan Milea dalam buku sebelumnya. Tentu saja, mana mungkin Milea tahu kalau Dilan perlu minta air doa Al-Fatihah dari bundanya sebelum mendekati Milea?

Dilan sebenarnya pintar dan juara kelas. Tapi ia sempat meragukan arti bahwa G30S/PKI itu merupakan singkatan dari Gerakan 30 September. Ia kira G-nya ada 30, seperti dalam P3K yang merupakan singkatan dari Pertolongan Pertama Padahal Kedua. Boleh senyum kalau kamu jaim.

Ada juga komentar Dilan saat Milea menyampaikan pendapat Yugo—temannya yang orang Eropa—tentang orang Indonesia.

“Iya. Katanya, orang Eropa itu disiplin. Mau sabar buat antri.”

“Iya keren, buang sampah gak sembarangan. Tapi, menjajah.” (hal 151)

Dilan terkadang memang cukup wise. Seperti yang ia tunjukkan dengan tidak ingin mengekang Milea.

Lia memang sudah cerita soal Kang Adi yang kadang-kadang masih suka nelepon, dan itu sama sekali tidak masalah bagiku. Aku pacarnya Lia, tetapi aku tidak ingin punya hak untuk mengontrol dengan siapa dia bicara atau dengan siapa dia berteman. Aku tidak ingin punya perasaan berkuasa atas dirinya. (hal 153)

Aku pergi mencari tempat duduk sendiri di halaman Yoghurt Cisangkuy karena merasa tidak ingin mengganggu Beni yang ingin bicara dengan Lia. Aku pacarnya Lia, dan Beni hanya mantannya. Apa yang harus aku risaukan jika aku yakin Lia akan lebih suka kepadaku yang tidak pernah mengekangnya, yang tidak pernah berkata kasar kepadanya. (hal 163)

Walau setting novel ini adalah kondisi SMA di Bandung tahun 1990 yang mungkin berbeda dengan masa sekarang, tapi karakter Dilan memang unik untuk anak-anak masa sekarang. Sangat kreatif cara berpikirnya. Bisa jadi agak kontradiktif. Penulisnya saya nilai tidak kreatif—alasannya sudah saya sampaikan di atas—tapi ia menuliskan tokoh yang kreatif, imajinatif, sableng, polos, aneh, dan mudah untuk dicintai.

Mungkin kalau dulu—atau bisa dibilang zamannya Dilan SMA, idola remaja itu karakter Lupus-nya Hilman Hariwijaya, karakter Mas Boy-nya Marwan Alkatiri, atau karakter Roy-nya Gola Gong. Dalam dua tahun terakhir ini, sepertinya idola remaja adalah Dilan.

Dilan yang pintar, Dilan yang anak geng motor, Dilan yang mencintai dengan cara yang unik. Sosok Dilan dibuat begitu hidup oleh Pidi Baiq dalam novel yang tata bahasa yang bagus.

 

Kelebihan Buku :

  • Sampulnya sederhana tapi bagus dan enak dipandang.
  • Bahasa yang digunakan mudah dipahami dan tidak bertele-tele.
  • Terdapat ilustrasi gambar yang membuat novel ini menjadi lebih menarik.
  • Kelakuan Dilan yang konyol dan apa adanya membuat para pembaca menjadi lebih terhibur.
  • Mengajarkan kita agar tetap tegar ketika putus dengan pacar. Seperti yang Dilan ceritakan pada BAB 12 “Masa-masa jauh dari Lia” halaman 231.

 

Kekurangan Buku :

  • Bagi para pembaca yang belum membaca kedua novel sebelumnya pasti akan merasa kurang puas. Karena di novel ini Dilan hanya menceritakan hal-hal yang perlu saja dan tidak mengulang cerita yang sudah diceritakan pada kedua novel sebelumnya.
  • Pada BAB 17 “Ancika Mehrunisa Rabu” halaman 295. Diceritakan bahwa “Zaman dulu batasan masa studi maksimal bisa sampai 14 tahun, jadi mahasiswa akan cukup banyak waktu untuk aktif di keorganisasian”. Padahal sebenarnya 14 semester atau 7 tahun.

 

Hana Afifatul

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment