Dewasa ini, sistem pendidikan kita telah kehilangan visi sejatinya. Alih-alih mengantarkan manusia menemukan hakikat kemanusiaannya, kebanyakan lembaga pendidikan kini cenderung mengusung fungsi pragmatis: mencetak lulusan yang siap kerja! Benar bahwa pendidikan harus mampu mempersiapkan generasi yang berkompeten dan berdaya saing tinggi, tetapi kalau kemudian hal itu menjadi satu-satunya tujuan pendidikan, tentu saja terlalu naif. Namun, begitulah fenomena yang menggejala. Akibat pasti yang akan ditimbulkan adalah, lembaga-lembaga pendidikan hanya menghasilkan individu-individu yang cerdas dan terampil, tetapi ruhaninya kosong. Kecerdasan dan ketrampilan mereka yang tinggi tidak akan berimplikasi terhadap kemuliaan akhlak yang seharusnya dapat berbanding lurus.
Berbicara mengenai visi atau tujuan dari sistem pendidikan di Indonesia, dengan sendirinya akan mengantarkan kita pada diskusi tentang jiwa pendidikan. Jiwa pendidikan itu tidak lain adalah hakikat pendidikan yang mencakup dasar dan tujuan. Pendidikan yang diselenggarakan dengan mengabaikan hakikat ini sama saja dengan manusia yang “sakit jiwa”. Ironisnya, Penyelenggaraan sistem pendidikan di negri ini cukup menunjukkan bahwa pendidikan kita tengah “sakit jiwa”. Indikatornya jelas, yakni perhatian utama kita masih berputar-putar pada persoalan-persoalan fisikal seperti biaya pendidikan, pengelolaan pendidikan, dan sarana prasarana pendidikan. Sementara hakikat pendidikan itu sendiri, yaitu untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dalam seluruh aspeknya (fisik, psikis, ruhani) sering kita abaikan. Dalam ungkapan yang berbeda penyelenggaraan sistem pendidikan sekarang ini tidak berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan, tetapi masih terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan yang sesungguhnya tidak substansial dan merupakan kulit luarnya saja. Maka dari itu kita tidak heran bahwa dasar dan tujuan yang menjadi hakikat pendidikan seolah-olah tidak tersentuh olehnya. Lantas implikasinya apa? yang terjadi dalam sistem pendidikan kita saat ini hanyalah transfer of knowledge dengan tidak mencakup transfer of value. Tidak heran pula generasi yang dihasilkan hanyalah cerdas dan terampil, tetapi tidak selaras dengan akhlak daripada generasi muda tersebut.
Penulis sangat prihatin dengan orientasi pendidikan yang seperti demikian, terlebih sistem pendidikan kita hanya disibukkan pada persoalan-persoalan yang notabane nya hanya kulit luarnya saja, belum mencangkup hakikat pendidikan itu sendiri. Sebagai negara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar nomer empat di dunia, Indonesia mempunyai potensi sumber daya manusia yang sangat besar. Jika sistem pendidikan kita masih seperti ini, bagaimana masa depan bangsa di masa yang akan datang? Apa bedanya kita dengan robot yang hanya mempunyai kecerdasan dan ketrampilan tetapi tidak mempunyai jiwa sosial dengan manusia lain? Bukankah sistem pendidikan seharusnya memanusiakan manusia lain dengan tidak mengenyampingkan kemapuan seorang siswa tersebut? Inilah yang harus dirubah, jadi kata kuncinya perubahan! tetapi perubahan yang seperti apa?
Menurut hemat penulis kita harus lebih fokus terhadap persoalan-persoalan mengenai lulusan atau generasi yang akan dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Bukan malah persoalan-persoalan fisikal dari sistem pendidikan kita. Kenapa? Karena generasi-generasi muda itu lah yang mengemban masa depan bangsa, bagaimana wajah bangsa Indonesia di masa depan, tergantung generasi muda kita. Maka dari itu seharusnya generasi muda tidak hanya pandai dalam beretorika, tetapi juga bisa menyelesaikan berbagai persoalan, karena pada dasarnya ilmu itu bukan obyek hafalan, tetapi ilmu untuk memahami dan menuntaskan persoalan.
Sistem pendidikan Indonesia yang pada hakikatnya mendidik manusia menjadi pribadi-pribadi khalifah (pemimpin) dimuka bumi, ternyata belum juga mampu mengemban misinya dengan baik. Padahal, kalau menilik sejarahnya, sistem pendidikan kita yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara dan lain sebagainya, sejatinya berangkat dari problematika rakyat dan menjadi solusi yang brilian atas problem-problem yang sudah sangat akut. Atas dasar itulah, kita mengembalikan sistem pendidikan ini kepada hakikatnya yang agung.
Penulis sangat setuju jika dilakukan reformasi terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Dengan belajar dari sejarah kita mesti mendudukkan pendidikan pada posisi yang ideal sebagaimana dicontohkan oleh tokoh-tokoh pendidikan, yakni sebagai jalan keluar bagi berbagai persoalan yang melilit bangsa. Sistem pendidikan harusnya diselenggarakan dengan menjadikan problem-problem sosial sebagai basisnya, sehingga mereka para terpelajar tidak canggung melebur dengan rakyat dan menuntaskan persoalan-persoalan yang ada didalamnya. Pendidikan menjadi sangat penting, karena hanya pendidikanlah yang dapat menyelamatkan masa depan, dan tanpa pendidikan Indonesia tidak akan mungkin dapat bertahan.
Fega Vande Sugita
LPM ManifesT FH
Universitas Brawijaya