Home Resensi Setapak Kerikil Kepulangan Si Babi Hutan

Setapak Kerikil Kepulangan Si Babi Hutan

by admin
0 comment

“Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hatinya dibanding di matanya.”

Pulang adalah salah satu novel mahakarya Tere Liye yang lagi-lagi mengulas tema biasa dengan cara yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Berkisah tentang perjalanan pulang seorang anak yang “hilang” dalam menemukan tempat berpulang bernama keluarga yang dipenuhi pertarungan demi pertarungan mengerikan. Bukan hanya bertarung dengan kerasnya dunia tetapi juga bertarung dengan diri sendiri dengan menerima dan memeluk semua sakit dan benci yang setia menjadi onak selama pencarian jalan pulang.

Novel yang berlatar di dua tempat yang sangat berbeda yakni pedalaman belantara lereng Bukit Barisan dan sebuah ibukota pelabuhan. Kisah ini dimulai ketika sang anak yang bernama Bujang yang tumbuh dalam didikan keras serta kasih sayang lembut orang tuanya, dijemput Tauke Muda dari keluarga Tong. Sebuah keluarga tempat Samad, ayah Bujang si tukang pukul paling disegani seantreo Sumatra, mengabdikan seluruh masa mudanya sebelum merantau bersama istrinya, Midah di lereng Bukit Barisan.

Kemudian dilanjutkan dengan perjuangan gigih si anak pedalaman yang dijuluki Babi Hutan itu yang harus meninggalkan keluarga kandungnya sendirian di pedalaman belantara rimba Bukit Barisan untuk hidup sebagai bagian dari keluarga lain. Dijuluki Babi Hutan karena ia yang masih berusia belasan tahun berhasil mengalahkan raja babi hutan yang selalu meresahkan warga desa kecil tempat tinggalnya ketika mengikuti Tauke Muda berburu di jantung rimba Sumatra saat hari penjemputan tiba. Sejak saat itu pula Bujang sudah tak lagi mengenal definisi rasa takut.

Keluarga baru Bujang di ibukota adalah keluarga Tong, bukan keluarga berdasarkan ikatan darah, tetapi ikatan kesetiaan. Keluarga itu adalah salah satu keluaraga terkaya yang memegang kendali atas segala pergolakan ekonomi yang terjadi negeri ini. Untuk dapat meneruskan kekuasaan Keluarga Tong tentu bukan hanya bicara kecerdasan pikir. Bujang yang tak sempat mengecap nikmatnya pendidikan di bangku sekolah menjadi sosok yang begitu cerdas dan kuat luar biasa berkat bantuan keluarga baru yang sama sekali berbeda dengan keluarga aslinya itu.             Meski tak sempat bersekolah, Bujang mampu dengan cepat mengejar ketertinggalannya di dalam berbagai ilmu pengetahuan. Hingga kemudian Bujang mampu menamatkan studi sebagai lulusan bidang ekonomi terbaik salah satu universitas ternama di Amerika Serikat. Tepat sesuai tujuan Tauke Muda kala mengambil Bujang dari keluarganya di Sumatra agar Bujang mampu mengambil alih kepemimpinan keluarga Tong.

Bujang juga telah menguasai berbagai ilmu bertarung dari pelatih-pelatih terhebat dunia yang bernama Guru Bushi seorang ahli bela diri, dan Solanga, ahli menembak dari Filipina. Bertahun-tahun melatih kekuatan otak dan ototnya, akhirnya Bujang resmi diangkat sebagai bagian dari keluarga Tong. Di akhir cerita, Basyir teman pertama Bujang saat pertama kali Bujang datang ke keluarga Tong melakukan makar. Seketika seluruh kehidupan bahagia Keluarga Tong berbalik seratus delapan puluh derajat. Bahkan Tauke Muda yang sudah sekarat juga menjadi korban keganasan anak buah yang dididiknya sendiri. Namun sebelum semuanya benar-benar hancur, Bujang berhasil menyelamatkan bapak angkatnya itu.

Di titik itulah Bujang kembali menemukan emosi yang telah lama dicabut dari hatinya. Sayup-sayup azan subuh seusai malam penghancuran itu, Bujang kembali merasa takut. Pondasi keberanian yang selama ini tertancap kuat di hatinya perlahan luruh. Tauke Muda pun akhirnya benar-benar meninggalkan Bujang yang mulai dihinggapi ketakutan setelah kawan yang juga ia anggap saudaranya melakukan pengkhianatan.

Ia kembali teringat masa kecilnya bersama bapak dan mamaknya yang kini telah tiada. Ia benar-benar sebatang kara. Namun si Babi Hutan tak bisa menyerah begitu saja. Ia menemukan satu jalan yang selama ini dicarinya, pulang. Kepulangan yang menguatkan Bujang untuk mengembalikan keadaan jauh lebih hebat sebelum pengkhianatan itu dilancarkan.

Dengan alur maju mundur yang tersambung utuh tanpa menyisakan jeda yang menganggu, novel ini berhasil mengungkapkan makna lain dari kata pulang melalui pemikiran yang dibangun sendiri oleh siapapun yang membacanya. Terselip pula teori-teori akan fakta di balik fenomena politik ekonomi yang diulas sedemikian rupa menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca awam. Novel ini sangat cocok dibaca oleh mereka yang ingin mendapat bacaan berbobot dalam bentuk cerita ringan yang mengasyikkan.

“Jika manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia, takut, jijik, dn kemarahan, aku hanya punya empat emosi. Aku tidak punya rasa takut.”

Alfi Nur

 

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment