Gundukan tanah itu menandakan bahwa pertemanan kita sudah selesai. Kau bilang selebihnya biar kau simpan sendiri, dan aku juga tidak pernah keberatan. Sulit rasanya membayangkan bagaimana kerasnya usahamu untuk bertahan. Melawan jarum-jarum yang menusuki tubuhmu, melawan mesin dialisis, terlebih melawan dirimu sendiri. Kalau boleh, meski sepertinya sudah terlambat, aku ingin sekali berkata lantang didepan batang hidungmu, bahwa aku merasa dirugikan, detik yang kupunya rasanya habis hanya untuk mengkhawatirkanmu. Sungguh, kau membuat pikirku tak pernah istirahat.
Terik matahari siang ini sempurna, menyerang seluruh permukaan pori kulitku. Aku merasa peluh semakin menyatu dengan air mata. Kau harus tahu, Hilman. Ini benar-benar tidak adil. Sekujur tubuhku lemas. Tulang kakiku mengeras menahan daging yang perlahan terasa meluruh. Bagaimana mungkin setelah kurelakan pikirku dikuasai olehmu, kau menumpasnya begitu saja. Menyajikan dengan nyata pemandangan yang berhari-hari kutepis menjauh dari pelupuk mataku. Ini sama sekali tidak adil.
Seseorang membisikan sesuatu padaku, katanya, jika tubuhmu yang kaku itu sudah dibalut kain putih maka sebetulnya kamu sudah selesai dengan segala pedihmu. Dengan Segala kesakitan yang hanya membuatmu tebaring berbulan-bulan diatas tempat tidur. Aku tahu betul tabiatmu yang selalu ingin melawan, meski hanya erangan yang bisa kau keluarkan dari mulut lemahmu. Aku tak mengerti mengapa kau selalu menganggap semua hal sebagai lelucon. Kau lihat sekarang? Kau sepenuhnya telah selesai, sudah tidak punya kuasa lagi, atasmu apalagi orang lain. Bahkan kau sudah tak lagi hebat dibanding semut-semut merah yang hilir mudik dari gundukan tanah itu.
Katamu tempo hari, saat belum pernah terlintas sedikitpun tentang bagaimana pertemuan kita dengan hari ini, kamu bilang dengan enteng, “Jika dia datang, ajak saja ia bercanda.” Tapi rupanya dia tak sebercanda itu menghadapimu. Waktu itu aku hanya bisa senyum. Kadang-kadang aku pikir becandamu berlebihan. Ternyata Hilman, di dunia ini banyak hal yang kita anggap lelucon tapi sebenarnya betul-betul ingin diseriusi. Apa yang menurut kita bisa kita lawan dengan tawa, sebetulnya justru hanya bisa luruh dengan air mata. Kamu tidak perlu mempedulikan ketulusan. Cukup lakukan saja, toh itu yang bisa membuat dirimu diterima. Bukannya hidup ini cuma urusan sejauh mana kita bisa bertahan?
“Aku hanya takut kehilangan orang baik,” katamu dengan wajah masih terangkat. Seperti biasa saat kau ingin berbicara agak becus, pandangmu lurus menembus pintu bus kota yang terparkir dipinggir toko semen.
“Memangnya berapa orang baik yang pernah kamu temui?”
“Banyak. Diantaranya ada yang menyajikan ketulusan sepertimu, sisanya cukup memperkenalkan topeng lalu hilang”
“Katamu aku tulus?”
“Tentu saja”
“Kalau begitu jelaskan”
“Nafasmu lebih tahu”
Bus yang selesai ditelanjangimu melaju membawa penumpang yang sepertinya sudah mabuk perjalanan. Kau menolehkan kepala, mengalihkan pandang matamu tepat di kedua bola mataku. Aku tak bisa lari. Kau menangkap seluruh usahaku untuk berkedip. Tiba-tiba saja, hatiku terasa diobrak-abrik. Keterlaluan. Kali ini aku yang merasa ditelanjangi.
Matahari semakin tinggi. Aroma bunga mawar yang tercampur dengan tanah basah perlahan menyusupi lubang hidung. Lembut, sampai kemudian menetap diparu-paru. Hatiku tiba-tiba saja bergetar.
“An, apakah setiap orang yang berbuat baik padamu itu tulus?”
Ah, Hilman. Siapa pula makhluk di dunia ini yang bisa mengukur ketulusan? Untuk apa memikirkan hal-hal yang jelas-jelas hanya membuat hidup terasa berat. Sudah kubilang, semua ini hanya siapa kuat, siapa bertahan. Apapun yang membuat hatimu terasa luas. Kalau kau berpikir semua hal harus disertai ketulusan, ya lakukan saja.
Kepalaku dihujani daun-daun kering. Hembusan angin di siang terik begini tiba-tiba terasa amat dingin. Semut-semut merah hilir mudik diatas gundukan tanah merah itu. Hilman, bagaimana jika tidak ada balas untuk tulusmu? Ini salahmu yang pergi terlalu terburu-buru. Dan kamu sudah selesai.
Sylva Indah