Telepon rumahku berdering untuk keempat kalinya. Aku buru-buru berlari untuk mengangkatnya. Tentu saja dengan pelan agar istri dan anakku tidak bangun. Saat melihat jam di dinding, aku sedikit menggerutu, orang gila mana coba yang menelpon jam setengah dua malam seperti ini. Kalau orangnya dari Amerika, mungkin bisa maklum karena waktu disana dan disini berbeda sekali. Aku mengambil kursi dan duduk di meja telepon.
‘’Halo? Siapa ini?’’ ucapku di telepon, membuka pembicaraan dengan sedikit menguap.
Hening. Belum ada balasan sama sekali. Aku mencoba lagi, ‘’Halo? Ini siapa?’’
‘’Eh, halo. Sudah tidur? Ini aku. Hehehe,’’ akhirnya telepon itu dibalas oleh suara perempuan. Suara yang sangat familiar di telingaku.
‘’Oh, ternyata kamu. Ada apa malam begini telepon?’’ aku mencoba memelankan suaraku. Pertama agar istri dan anak tidak bangun, kedua karena lawan bicaraku ini memang tidak bisa dimarahi.
‘’Ah, aku ingin bertanya resep membuat nasi goreng. Bagaimana ya?’’ perempuan ini bertanya lagi.
Aku menguap pelan, benar-benar mengantuk. ‘’Begini Ros, sekarang sudah dini hari. Bagaimana kalau aku catat dulu di kertas, lalu besok pagi aku antarkan ke rumahmu? Supaya sekalian kau praktik disana,’’
Iya, namanya Ros. Sampai hari ini, aku masih tidak tahu siapa nama aslinya. Orang-orang di tempatnya memanggilnya hanya dengan satu nama, Ros. Ada yang bilang bahwa nama aslinya adalah Rosalinda. Ada juga yang mengatakan bahwa nama panjangnya adalah Rosie. Pokoknya apapun itu, perempuan bernama Ros ini benar-benar membuatku resah setiap malamnya. Alasannya ya ini, dia selalu meghubungiku setiap malam lewat telepon rumah.
‘’Eh, baiklah. Kurasa benar katamu, ini sudah terlalu malam sekali,’’ Ros membalas perkataanku.
Tentu saja ini sudah malam sialan, kalau kau tahu mengapa masih menelpon hah? Batinku mencaci maki. Tapi aku harus sabar, bagaimanapun juga ini termasuk kesalahanku.
‘’Hei jangan tutup dulu. Aku ingin bercerita. Jadi hari ini kucingku tiba-tiba melahap lauk untuk makan siang. Jadinya aku tidak punya pilihan lain selain menitip makanan ke tetangga. Aneh bukan? Biasanya dia tidak begitu.’’ Ros bercerita panjang lebar tanpa kupinta.
Mau tidak mau, aku harus meresponnya, ‘’Sungguh? Mungkin dia sedang butuh perhatianmu sebagai majikannya,’’
‘’Kukira begitu. Beberapa hari ini aku tidak terlalu perhatian ke dia. Hari ini entah kenapa lenganku lagi-lagi terkena jarum panjang itu,’’ kata Ros.
Oh, jadi dia disuntik penenang lagi hari ini, ucapku dalam hati.
‘’Padahal aku tak sakit apa-apa lho. Tapi mengapa aku selalu diserang dengan jarum panjang itu?’’ nada bicaranya terdengar sedih.
‘’Eh, mungkin sebenarnya itu sebagai pencegahan Ros.’’ Aku mencoba menenangkan sebelum dia benar-benar menangis dan membuat istriku terbangun.
Tiba-tiba saja teleponnya mati. Oh, aku bersyukur sekali. Akhirnya setelah pembicaraan yang sangat tidak penting ini berakhir. Aku mengucek mataku sambil melihat jam. Sudah pukul dua malam tepat. Tiga puluh menit dia berbicara hal yang tak berfaedah padaku. Tanpa kusadari, istriku sudah berdiri di belakangku. Mampus!
Tapi di luat dugaan, istriku malah maju dan memijit bahuku. Aduh, enak sekali. Dia juga memijat tengkuk dan punggungku. Aku terlena dalam kenyamanan pijatannya.
‘’Siapa itu? Ros lagi?’’ tanya istriku.
Aku mengangguk, ‘’Iya. Dia masih galau rupanya,’’ aku sedikit bercanda.
Istriku tersenyum. ‘’Balik ke kamar ya, tidur lagi. Kasihan Adel sendirian,’’ ia berhenti memijatku dan berjalan ke kamar. Aku menatapnya berjalan ke kamar. Dengan cepat aku segera memeluknya dari belakang.
‘’Maaf.’’ Aku berbisik lirih di telinganya, ‘’Karena aku, kamu dan Adel selalu terganggu seperti ini.’’
Istriku berbalik dan menggeleng, ‘’Buat apa minta maaf? Kamu tidak salah. Ros juga tidak salah. Sudah kewajiban kamu untuk menolongnya bukan?’’ ia menuntunku kembali ke kamar untuk tidur. Tidak sampai lima menit, aku sudah terlelap sambil memeluknya.
Paginya aku langsung tancap gas menuju tempat kerjaku. Sesampainya disana, kuraih jas dokterku dan segera menuju bangsal kejiwaan. Di tengah jalan, aku memanggil salah satu perawat.
‘’Manda, pasien nomor 89 masih di ruangan atau sedang berjalan-jalan?’’ tanyaku pada Manda, perawat yang kupanggil.
‘’Kebetulan sedang jalan, Dok. Tadi memang saya yang memandu dia keluar.’’ Jawab Manda.
Aku berterima kasih dan segera menuju halaman belakang. Bangsal kejiwaan berada di bagian paling belakang dan memang memiliki sebuah taman yang luas. Sekarang memang jadwal pasien kejiwaan untuk istirahat dan berkegiatan di luar ruangan. Di taman itu, aku melihat pasien yang kucari sedang duduk diam di bangku taman dengan tatapan kosong. Aku menatapnya dari kejauhan. Setelah mengumpulkan keberanian, aku menghampirinya.
‘’Ros?’’
Iya, pasien nomor 89 itu adalah Ros. Seorang wanita yang mengalami gangguan mental akibat kehilangan anak dan suaminya dalam sebuah kecelakaan kereta. Dia mengalami skizofrenia akut dan terkadang meracau tidak jelas di malam hari. Dua bulan yang lalu, dia dipindahkan ke rumah sakit kami.
Saat itu tidak semua dokter berani menegur atau mengajak ngobrol. Sebelumnya memang kami diperingatkan untuk menjaga sosialisasi dengannya. Bukan karena iba atau semacamnya, melainkan karena Ros lumayan sensitif dengan dokter. Ia kerap kali disuntikkan penenang karena jika sudah meracau, Ros akan melukai siapapun. Mencakar, meninju, menendang, bahkan seandainya ada pisau dia akan bergerak menusuk siapapun.
Tapi suatu hari aku memberanikan diri untuk menyapanya bersama beberapa dokter lainnya. Diluar dugaan, Ros tidak menyerang kami. Justru dia terlihat senang. Pada waktu itu aku dan beberapa dokter lainnya mengajarkannya beberapa hal. Kami kira hanya sampai disitu. Tapi kami salah. Mungkin karena terlalu senang atau apa, Ros mulau menghubungi kami setiap malam. Bercerita tentang banyak hal. Dia menganggap kami keluarganya.
Sebenarnya kalau sesekali, tidak masalah. Namun Ros setiap hari dan di tengah malam, akan selalu menelepon kami. Sampai hari ini, aku masih menyesali pernah menyapanya. Aku tahu, tidak seharusnya aku berkata begitu sebab aku adalah dokter yang wajib menolong manusia lainnya.
Itulah Ros, pasien nomor 89 yang sampai hari ini masih terjebak dalam khayalannya. Dan parahnya, kini aku menjadi bagian dari khayalannya yang tak kunjung usai.
Guntur_
Sumber Foto : Google