Home Cerpen Secercah Harapanku

Secercah Harapanku

by admin
0 comment

Di siang hari sepulang sekolah, Aku dan Yani sedang berbincang-bincang sambil berjalan menuju rumah .

“Arrhhh nilaiku jelek lagi, kalau gini terus gimana aku bisa masuk SMA negeri” keluh Anna sambil memegang kertas hasil tryout.

“Makanya jangan ngamen mulu Anna” sahut Yani

“Aku ga tega liat ibuku cari uang sendirian, Yan” jawabku

“Pokoknya UN besok harus belajar, berhenti dulu ngamennya” kesal Yani yang hanya kubalas gumaman tak peduli.

            Sesampainya di rumah terlihat adikku sedang makan sendirian, aku pun bertanya padanya “Ibu belom pulang, Ren?”

“Belum, Kak. Masih di sawahnya Pak Ranto” jawab adikku.

Aku bergegas menuju ke kamar untuk berganti pakaian kemudian pergi ke sawah menghampiri ibuku. Sesampainya di sana aku melihat ibu bekerja keras untuk mendapatkan uang, keringat bercucuran membasahi dahi dan bajunya. Ibuku telah bekerja sejak ayahku telah meninggal satu tahun yang lalu.

“Ibu!” panggilku dari kejauhan lalu menghampirinya.

“Bu, aku bantuin ya?”

“Anna pulang aja ya, belajar yang rajin, besok kan Anna ada UN” sahutnya dengan senyuman lebar melihatku

“Iya, Bu” jawabku dengan raut sedih. Aku mengiyakan permintaan ibu dan bergegas pulang untuk belajar.

“Anna pulang dulu ya, Bu”

“Iya hati-hati di jalan ya, Nak” jawab ibu dengan senyuman mengembang di wajahnya.

            Sesampainya aku di rumah, aku langsung menuju kamar, kuambil buku latihan UN untuk persiapan besok pagi. Hampir semua materi di buku itu kubaca,

“Astaga bagaimana ini?? Aku ga paham sama sekali”. Karena kesal, kubantingkan badan ke atas kasur.

“Besok UN, dan aku ga ngerti materi sama sekali, Anna kamu bodoh banget sih,” kekecewaanku pada diri sendiri sambil menghela nafas. Kualihkan pandangan ke langit-langit atap kamar.

“Kalau nilaiku jelek aku ga bisa ke SMA Negeri, ibu ga akan sanggup biayain aku ke SMA Swasta” batin ku miris.

Perhatianku teralihkan oleh sebuah gitar yang bersender di pojok kamar. Sebuah gitar pemberian bapak waktu umurku 10 tahun, sebuah gitar yang biasa aku gunakan untuk mengamen. Aku berdiri melangkahkan kaki untuk mengambil gitar, jari-jariku memetik senar-senar gitar yang sudah usang, kumainkan lagu yang sering dimainkan bapak, lagu yang diciptakannya sendiri untuk ku. Air mata mulai membasahi pipiku.

“Bapak, maafin Anna belum bisa banggain ibu sama bapak,  Anna cuma jadi beban di keluarga ini, Anna rindu bapak” kataku sambil menghapus air mata aku mengingat usaha keras ibu mencari uang untuk menghidupi keluarga ini. Aku pun harus berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus di UN besok. Sore itu aku belajar sampai larut malam, walau banyak materi yang tidak kumengerti aku tetap berusaha untuk memahaminya.

Tok tok tok

Suara ketokan pintu kamarku, sontak  aku menoleh ke arah pintu yang sekarang terbuka, ternyata itu ibuku.

“Anna, tidur sayang….. Besok kesiangan, lho” kata ibuku dengan suara lembutnya

“Iya, Bu, ini juga mau tidur”, jawabku sambil berjalan ke kasur dan tertidur

***

Kesokan harinya pukul 06.30 aku bergegas ke sekolah. Sesampainya di sana aku melihat Yani yang sedang belajar di depan ruang ujian kami

Buset rajin bener” kataku

“Sst! Daripada ganggu, mending kamu juga belajar lagi deh” jawabnya

“Iya-iya”

Kukeluarkan buku dari tasku namun belum selesai aku membaca, bel masuk sudah berbunyi. Tanda di mana UN akan segera dimulai. Dengan perasaan cemas aku  masukkan lagi bukuku ke dalam tas.

“Ayo, Na! Kita bisa!” Kata Yani mengejutkanku.

“Eh.. Iya kita pasti bisa!” Jawabku dengan semangat, meskipun tengah dirundung cemas.

***

Tak terasa tiga hari telah berlalu, UN sudah berakhir. Dan hari ini adalah hari pengumuman nilai UN, berdebar rasanya menunggu ibuku pulang mengambil nilaiku. Aku sangat berharap aku mendapat nilai yang tinggi kali ini.

“Kak, Ibu pulang!” suara Ren memanggilku. Aku pun menghampirinya dengan hati yang gelisah.

“Bagaimana, Bu?” tanyaku dengan cemas.

Ibu hanya tersenyum dan memberikan kertas nilaiku, tanganku tergerak mengambil kertas itu. Terpampang jelas nilai 17,10/30.00 . Melihat nilai itu, aku merasa duniaku runtuh seketika. Pikiran pikiran buruk mulai menghantui otakku.

“Bu, maafin Anna” sambil menahan tangis dan kecewa. Aku tak berani menatap mata Ibu.

“Tidak apa apa, Nak. Ibu tau Anna udah belajar dengan keras, Anna juga rajin ibadah dan berdoa. Jika seseorang sudah berusaha dan berdoa tetapi seseorang itu masih menuai kegagalan dalam tujuannya, berarti itu bukan jalannya. Jangan sedih ya, Nak pasti Tuhan merencanakan sesuatu yang indah untuk Anna kedepannya. Anna ke SMA swasta juga ibu gapapa kok” katanya sembari mengelus-elus rambutku.

“Tapi, Bu…. Swasta mahal, kita ga punya uang buat itu, hutang-hutang ibu juga banyak yang belum dilunasin, Bu” jawabku

“Pasti ada jalannya, yang penting Anna sekolah ya, sayang” balas ibu menenangkanku.

            Sore itu akupergi  ke warung ibunya Yani untuk membeli garam. Aku melihat yani sedang melayani pembeli di warung ibunya.

“Na, aku udah denger dari ibuku kalau nilaimu anjlok. Semangat ya, Na! Mungkin belum jalanmu” kata Yani

“Iya, Yan” jawabku dangan lesu

“Oiya, Na! Tadi di jalan aku dapat selebaran ini, katanya SMA Seni Unggul Jaya buka pendaftaran lewat jalur uji bakat. Suara dan permainan gitarmu bagus, Na, kamu harus coba ikut ini” sahut Yani sambil menyodorkan lembaran itu ke arahku.

Aku mengambil lembaran itu, “Aku harus cobaa, semoga ini memang rezekiku” batinku

“Terimakasih, Yani! Kau memang yang terbaik” perkataanku membuat Yani tersenyum.

***

Seminggu sebelum uji bakat diadakan aku berlatih memperbaiki skill bernyanyi dan permainan gitarku. Hingga hari itu tiba. Tepat hari ini, hari di mana uji bakat dilaksanakan. Aku merias diri dengan  rapih kemudian bergegas ke SMA Seni Unggul Jaya untuk mengikuti uji bakat itu. Di sana banyak sekali anak-anak yang berbakat di bidang seni. Mereka adalah sainganku saat ini. Melihat  mereka datang bersama orang tuanya sedangkan aku datang sendirian, sedikit membuatku merasa sedih. Tapi tak apa karena ibuku bekerja dan aku tak mau merepotkannya aku harus berjuang sendiri kali ini.

            “Anna Adaninggar”

Namaku terpanggil artinya giliranku untuk uji bakat. Aku diarahkan ke dalam ruangan, di sana terdapat 4 juri yang akan menilaiku nanti. Kumainkan lagu ciptaan bapakku dengan sebuah gitar uang yang kubawa dari rumah, alunan gitar terdengar lalu aku pun mulai bernyanyi.

Lirik demi lirik telah kunyanyikan bersamaan dengan nada yang keluar dari petikan gitar yang kumainkan. Riuh suara tepuk tangan terdengar dari para juri yang berdiri setalah lagu ini selesai kumainkan. Aku tersenyum bangga karena hal itu.

Setelah tampil para peserta diarahkan menuju ruangan dimana kami harus menunggu hasil dari keputusan para juri. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya aku dinyatakan lolos masuk SMA Seni Unggul Jaya. Di atas panggung yang dingin, aku menangis bahagia. Setelah selesai aku segera pergi ke sawah dengan membawa kertas pernyataan kelolosanku.

Aku sengaja pergi ke sawah karena aku tahu ibu belum pulang bekerja, setelah sampai ke sawah tempat ibuku bekerja aku memanggil ibuku dengan kencang

“IBU, AKU LOLOS!” Aku berlari menghampiri ibuku dan menunjukkan kertas itu dengan senyum bangga.

“Aku lolos, Bu!” Ucapku dengan senang.

“Selamat, Nak! Ibu senang kamu lolos” ucap ibu dengan senyum mengembangnya.

“Aku juga dapat beasiswa, Bu. Jadi ibu ga usah keluarin uang untuk sekolahku lagi” tambahku lagi menambah senang dan haru hari itu.

Devi_

Sumber foto: google

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment