Ada masa ketika tertidur panjang dan ketika mata terbuka seutuhnya, aku baru paham ada banyak hal yang dilewatkan selama aku tidur.
Entah kenapa aku tertidur begitu lama sampai kulit mengelupas. Lucu memang, tapi apakah tertidur panjang bisa membuat kulit mengelupas? Aku pernah mendengar cerita-cerita bahwa ketika kita tertidur panjang dan melebihi batas normal dapat menyebabkan pusing, sakit kepala, mudah depresi dan efek negatif lain yang aku tidak ingat.
Mungkin sekarang aku merasakan depresi karena aku baru bangun dari tidur yang panjang.
“Kamu tahu soal internasionalisasi UKM?”
Sayup-sayup aku mendengar percakapan teman-temanku. Mereka bercerita sendirian tanpa mengajakku. Seseorang dengan rambut panjang, laki-laki, mengernyitkan dahi mendengar itu. “Maksudnya apa?”
“Yah… katanya UKM dituntut untuk membuat acara internasional, lalu boom! Universitas akan memberi dana lebih,” Seseorang yang memulai obrolan itu terkekeh pelan. Ia mengusap dahinya yang sama sekali tak berkeringat. “Padahal aku merasa belum siap untuk itu. Kamu tahu bukan….”
Aku tak bisa mendengar kelanjutannya karena mereka sudah menghilang di balik pintu. Tapi temanku berbaik hati menceritakan apa yang ia dengar.
“Kaki mereka membocorkan isi kepala mereka.” katanya.
Temanku itu bernama Bin. Ia bercerita kalau laki-laki berambut panjang itu sama sekali tidak siap jika organisasi yang dipimpinnya mengadakan acara yang berlabelkan internasional. Ia rasa, organisasinya masih perlu berbenah diri.
Sedangkan laki-laki yang satunya menganggap universitas menganaktirikan dan lebih sayang pada UKM tingkat universitas.
“Ah, itu namanya cemburu,” kata Bin saat kutanya mengapa mereka merasa tidak disayang.
Kata Bin, seseorang lewat kakinya pernah bercerita bahwa cemburu adalah rasa tidak senang melihat orang lain beruntung. Ia merasa panas dan ingin marah melulu jika cemburu.
Kenapa cemburu? Tanyaku tak mengerti.
“Tidak tahu,” kata Bin. “Yah, mungkin saja mereka sudah merasa berjuang, tapi perjuangannya hanya dihargai sedikit. Bukankah kamu… ah, tidak… bukankah kita juga merasakannya saat ini?” Bin tertawa ketika mengatakannya, mengejekku karena lupa kalau kami juga tidak disayang lebih.
Tawaku menyusul kemudian, baru menyadari kalau aku memutuskan untuk tidur panjang karena cemburu.
“Jadi itu alasanmu tidur?” Bin misuh-misuh, entah karena mendengar alasanku atau karena ia baru saja diinjak seseorang. “Ah, manusia-manusia itu kenapa selalu sibuk, sih.”
“Hahaha,” Aku terkikik dan berhenti saat kulitku jatuh melayang-layang mengenai Bin. “Begitulah mereka. Mereka sibuk dengan urusan sendiri dan lupa dengan sekeliling. Lihat saja aku. Sampai aku mengelupas, mereka tak kunjung merawatku. Jadi, daripada aku bosan mendengar keluh kesah mereka soal hidup tapi tidak memberi jeda untuk melihat ada apa di sekitarnya, aku memutuskan untuk tidur. Setidaknya tidur panjang membuatku lupa dengan pikiran mereka yang membingungkan.”
“Tapi saat kamu tidur, aku tidak punya teman untuk mengobrol,” kata Bin, agak kesal karena ia diinjak lagi. Kali ini bukan oleh satu orang, tapi segerombolan orang yang tertawa-tawa. “Duh, kenapa mereka bahagia sekali?”
Nah, itulah alasanku cemburu. Bin tak mengerti. Ia bertanya maksudku dan kujawab saja, manusia itu bisa tertawa bahagia, tapi aku tak bisa ikut tertawa. Aku tak menutut lebih, aku hanya ingin dirawat. Aku tidak perlu mendengar semua cerita mereka. Cukup rawat saja aku, maka aku pun akan bahagia dan ikut tertawa bersama mereka. Yah, meskipun aku tidak mengerti mereka menertawakan apa atau karena apa.
“Betul,” Bin terkekeh geli. “Tubuhku saja kotor begini.”
Nah, begitulah. Tapi sampai aku bangun saat ini, ternyata keadaan masih sama saja. Lebih baik aku tidur lagi. Kalau aku bangun, aku hanya akan kesal dan malah mendengar yang seharusnya tak kudengar. Aku kan hanya tembok dengan kulit yang mengelupas, tidak akan mengerti urusan manusia.
“Eh,” Bin memprotes, tidak suka dengan keputusanku. “Jangan tidur lagi, nanti aku tidak punya teman!” katanya sebal. “Aku juga cuma lantai, tapi aku tetap bangun karena aku percaya mereka akan merawatku nanti. Lagi pula tidak ada salahnya mendengar yang seharusnya tak didengar. Kamu jadi tahu banyak hal.”
“Tahu banyak hal? Seperti apa?” tanyaku.
“Yah…” Jeda sebentar sebelum Bin melanjutkan, “Seperti… kata kaki seseorang, mereka yang sering bertemu kita sudah berusaha untuk menyayangi kita, hanya saja lagi-lagi, manusia-manusia atas itu seperti tidak ingin menyayangi kita. Kamu tahu, bukan, soal uang lagi-lagi menjadi alasan mereka untuk menunda menyayangi kita.”
Ah, manusia dan uang. Sepertinya mereka menjadi teman akrab. Mungkin kapan-kapan aku ingin mengobrol dengan uang untuk tahu bagaimana rasanya dibutuhkan. Mungkin juga aku akan bertanya, mereka sudah menjelajah ke mana saja karena perintah manusia-manusia atas.
“Jadi, jangan tidur, ya?” pinta Bin.
Aku terdiam lama, sampai akhirnya dua orang berlari tergesa-gesa sampai Bin mengaduh untuk yang kesekian kali. Bin bilang, kaki mereka bercerita kalau dua orang itu sedang memburu manusia-manusia atas.
Aku tak mengerti. Aku tidak sepandai Bin yang bisa mendengar isi kepala lewat kaki. Aku hanya bisa mendengar jika manusia berbicara. “Berburu bagaimana?”
“Yah, mereka bertanya banyak hal pada manusia-manusia atas. Bisa jadi mereka nanti bertanya nasib kita.”
Tanpa sadar aku tersenyum. Kulitku mengelupas lagi, tapi aku memutuskan untuk bangun dan tidak tidur lagi. Mereka yang sering bertemu kami adalah orang-orang yang menyayangi kami, meskipun kadang mereka tertawa sendiri tanpa mengajak kami. Tapi setidaknya aku paham, ada orang-orang yang ingin memperjuangkan dan merawat kami.
Baiklah, mungkin ini saatnya aku untuk bangun dan menunggu kabar baik selanjutnya. Bukankah begitu, Bin?
Faridatul Mardhiyyah