Home Suara Pembaca Pentingkah Keperawanan Dan Bagaimana Tanggapan Soal Seks Pranikah Dari Sudut Pandang Remaja?

Pentingkah Keperawanan Dan Bagaimana Tanggapan Soal Seks Pranikah Dari Sudut Pandang Remaja?

by admin
0 comment

Bicara mengenai ranah seksualitas, khususnya keperawanan bagi wanita. Mungkin ini sesuatu yang sangat tabu menurut sebagian orang, terlebih bagi masyarakat di Indonesia yang masih berpemikiran konservatif. Masyarakat cenderung berpendapat bahwa tidak perlu ada edukasi tentang seks, lantaran hal tersebut merupakan naluri setiap manusia dan masih banyak permasalahan lain yang penting untuk dikaji sebagai edukasi generasi muda, antara lain: masalah narkoba, rokok, minuman keras, perilaku anarkis remaja, dll.

Sayangnya masyarakat kerap melupakan bahwa tidaklah bijak mengabaikan satu masalah penting demi yang lainnya, terlebih pada kenyataannya kehidupan remaja masa kini tidak jauh dari permasalahan klasik seperti pergaulan bebas. Anggapan kolot ini juga yang menjadikan banyak kasus pelecehan dan seks pranikah di kalangan remaja, selain itu terdapat sebagian orang yang belum memahami tentang hubungan seks meski telah menikah sehingga menimbulkan permasalahan rumah tangga.

Saya dibesarkan di lingkungan yang bisa dikatakan bukan lingkungan baik-baik. Saya tinggal di daerah yang mana agama, norma, moral, pendidikan, dan segala aturan (yang kalau kata orang Jawa “adiluhung”) hampir tidak ada artinya bagi sebagian besar warga kami. Hal tersebut sedikit demi sedikit memengaruhi pemikiran saya sejak kecil hingga kini duduk di bangku kuliah.

Hal-hal yang tidak bermoral dan beretika bagi orang-orang terdidik seperti pemerkosaan, kumpul kebo, narkoba, minuman keras, mencuri, anak kecil bolos sekolah dan merokok, bapak-bapak main judi atau taruhan, bentrok antarwarga dan golongan, wanita menjual diri, perselingkuhan orang luar dengan wanita dari lingkungan kami, pertengkaran bahkan perkelahian keluarga hingga main fisik antarwarga, dan lain-lain semua menjadi hal yang lumrah di lingkungan kami. Tidak ada yang diadili atau diusir karena dianggap mencemarkan nama daerah, semua terjadi dan berlalu dalam keseharian.

Pengedar narkoba yang sempat tertangkap kemudian bebas langsung berbaur saja dengan warga seperti tidak terjadi apa-apa. Mayoritas wanita dari lingkungan kami menikah dalam keadaan sudah hamil duluan, hal ini juga dialami oleh beberapa teman sekolah dan teman sepermainan saya waktu kecil yang memutuskan untuk menikah muda, tanpa bekerja dan mengenyam pendidikan. Ada juga yang tidak menikah namun tinggal serumah (kumpul kebo), parahnya terdapat kakak-beradik kandung yang melakukan hal tersebut. Orang tua saya juga pernah bercerita, dulunya ada wanita yang dianggap gila di sekitar kontrakan kami, wanita malang itu dibunuh dan dibakar oleh keluarganya sendiri.

Perilaku yang demikian tidak hanya terjadi di kalangan remaja hingga dewasa. Entah karena semua terjadi secara terang-terangan atau didikan orang tuanya yang salah, tak sedikit anak usia Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) yang sudah melakukan hubungan seks. Sebagian orang bisa mengatakan ini mustahil, namun inilah kenyataannya.

Teman-teman saya ketika SD pun berpacaran secara terang-terangan hingga pernah membolos, pergaulan bebas menjadi gaya hidup mereka yang mungkin akibat terinspirasi dari sinetron atau juga perilaku orang tua. Tak mengherankan bila sejak SD saya pun sudah akrab dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan dunia kelam. Dan kenyataannya, kasus seks bebas dan pelecehan yang dialami anak-anak usia tersebut juga beberapa kali masuk berita. Anak didik saya bahkan nyaris mengalami pelecehan dari temannya sendiri yang suka menonton film biru, beruntung kejadiannya di rumah anak didik saya sehingga neneknya yang merupakan pemilik kontrakan saya langsung mengusir teman cucunya tersebut.

Apa yang saya jabarkan di atas hanya sekelumit dari fenomena satu wilayah lingkungan, yang saya rasa hal ini pun banyak terjadi di lingkungan lain. Terlebih di kota-kota besar di mana setiap orang bebas melakukan apa yang mereka suka dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM). Menjaga diri dari arus negatif baik laki-laki maupun perempuan rasanya hanya menjadi wacana dan omongan belaka yang akhirnya diabaikan juga baik oleh orang tua maupun anak-anak muda.

Khususnya dalam hal ini adalah pergaulan bebas hingga seks pranikah. Seks pranikah agaknya telah menjadi hal yang dimaklumi oleh sebagian masyarakat. Hal ini umumnya berawal dari orang tua yang membolehkan anaknya pacaran dan menghabiskan waktu dengan pasangannya, dengan dalih bahwa hal tersebut lumrah bagi anak remaja. Dan begitu terjadi dampak buruk seperti hamil di luar nikah misalnya, orang tua umumnya menyalahkan anaknya tanpa mengingat didikan yang mereka berikan terhadap anak mereka.

Namun ada juga orang tua yang bersikap santai dengan hal ini dan langsung menyuruh pasangan tersebut menikah saja. Reaksi ini secara tidak langsung menjadikan didikan yang salah bagi generasi penerusnya, bahwa masalah seks pranikah bahkan hingga berujung kehamilan tidak perlu dipermasalahkan selagi pihak lelaki mau bertanggung jawab.

Pertanyaannya, bagaimana jika pihak lelaki tidak mengakui bahwa kehamilan tersebut karena dirinya? Dari sinilah kasus aborsi (pengguguran kandungan) banyak terjadi di kalangan anak muda. Bila pada kasus umumnya aborsi dilakukan oleh remaja sendiri secara diam-diam, nyatanya tak sedikit orang tua yang memaksa anaknya melakukan aborsi agar tidak mencemarkan nama baik keluarga. Jika tidak, mereka harus mencarikan pria yang bersedia menikahi anak mereka dan menerima anak dalam kandungan tersebut.

Agaknya, masyarakat Indonesia telah melupakan nilai-nilai luhur agama dan budaya Nusantara yang menjunjung tinggi nilai moral dan norma kehidupan. Dengan mengatasnamakan hak asasi, kini mayoritas orang berbuat sesukanya demi menuruti nafsu tanpa memikirkan nasib ke depannya. Entah apa yang membuat generasi muda banyak yang kehilangan akal hingga terjerumus pada nafsu sesaat di masa akil baligh.

Menjalin hubungan dengan lawan jenis hingga pergaulan bebas kini malah menjadi kebanggaan, bahkan dianggap sebagai kemajuan suatu bangsa yang moderat. Saya jadi ingat teman-teman saya di SD dan SMP yang berpendapat, kehilangan keperjakaan dan keperawanan di masa muda adalah suatu kebanggaan tersendiri. Anak-anak muda rupanya menganggap hal demikian sebagai pengalaman indah yang mewarnai masa remaja.

Generasi muda Indonesia rupanya telah terpengaruh budaya modern dari Barat, yang berpendapat bahwa orang yang masih perjaka dan perawan di usia SMP atau SMA adalah orang yang kuno, cupu, kampungan, tidak tahu peradaban, dll. Virginitas bagi mayoritas orang Barat adalah hal yang aneh dan menjadi bahan tertawaan. Sangat jarang ditemukan gadis belia yang masih perawan di negara Barat. Mungkin kita masih ingat kasus Natalie Dylan pada 2008 silam, mahasiswi Amerika Serikat yang membuat iklan melelang keperawanannya seharga 3,8 juta Dolar Amerika (41,8 miliar Rupiah) demi membiayai pendidikan masternya. Tanggapan orang-orang pun beragam, ada yang mencela hal tersebut, namun adapula yang memuji usaha mahasiswi tersebut demi membiayai pendidikannya hingga mengorbankan kehormatannya.

Saya tidak akan menghakimi siapa pun di sini, namun perlu diingat… tanpa kita sadari tak sedikit dari masyarakat yang kini mulai menghargai pekerjaan menjual diri selama tidak menyakiti orang lain. Sayangnya mereka tidak berpikir jika keluarga atau istri dan anak mereka yang melakukan pekerjaan tersebut, atau jika suami mereka berhubungan gelap dengan pelacur. Bukankah sebagian besar pria yang memakai jasa pelacur adalah pria yang sudah beristri? Yah, pada akhirnya kalimat “Selama tidak menyakiti orang lain” dan “Jangan menilai sesuatu dari luarnya” kerapkali menjadi tameng dan dalih bagi kebanyakan orang untuk berbuat sesukanya dan membenarkan sesuatu yang sudah jelas salah.

Dr. Vatsa berpendapat bahwasanya menuntut keperawanan adalah bentuk ego pihak lelaki dan keluarganya yang tidak realistis. Budaya tradisional tidak seharusnya menghambat kita melakukan seks pranikah. Hal ini didukung pula oleh pendapat Dr. Rajan Bhonsle, seorang seksolog, apabila pasangan kita mengakui dirinya melakukan hubungan seks di masa lalu maka itu adalah hal yang baik, karena kepercayaan dan kejujuran adalah segalanya.

Selain itu bila kita telisik lagi, selaput dara yang kerapkali menjadi patokan keperawanan tidak selalu menjadi jaminan bahwa wanita pernah melakukan hubungan seks atau tidak. Salah satu pendataan menunjukkan hanya 42% wanita yang berdarah saat melakukan hubungan seks pertama kali. Sedangkan selaput dara bisa saja pecah atau robek karena kecelakaan atau hal-hal tertentu.

Semua penjabaran di atas memang tidak salah, namun bukan berarti setiap orang tua bisa membenarkan anak remajanya melakukan hubungan seks pranikah dengan pasangannya. Terlebih seperti yang kita tahu pergaulan bebas yang demikian akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi kehidupan mendatang. Entah remaja terjangkit penyakit kelamin dan gangguan kesehatan lainnya (karena bergonta-ganti pasangan atau terlalu muda untuk melakukan hubungan seks), hamil di luar nikah yang berujung permasalahan jangka panjang, menurunnya prestasi belajar, meningkatnya kasus kematian remaja dan bunuh diri.

Belum lagi bila kelak remaja tersebut dewasa dan menikah, lalu bertemu kembali dengan partner seksnya di masa lalu. Tentu hal tersebut bisa mengganggu kenyamanan rumah tangga dan anak bisa saja meniru perilaku orang tuanya. Percayalah, mereka yang memilih menjaga diri sebelum pernikahan akan lebih tenang dan aman hidupnya dari kemungkinan-kemungkinan buruk seperti yang dijabarkan di atas, dibandingkan orang yang bergonta-ganti pacar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Baik lelaki maupun perempuan bila mereka memiliki harga diri yang tinggi bagaimana pun statusnya, tidak akan mau disentuh sembarangan oleh lawan jenisnya. Orang tua yang baik dan berwibawa, akan mendidik anaknya untuk memilih pergaulan yang baik dengan teman-temannya. Semua masalah kembali pada diri masing-masing.

Andhika_

Sumber : Google

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment