Home Cerpen Payung Muja

Payung Muja

by admin
0 comment

‘’Tahukah kau, Ja, bahwa ternyata dalam ekosistem lautan, hiu bukanlah puncak predator!’’

‘’Jangan sembrono. Bayi pun juga tahu kalau hiu itu adalah ikan terkuat dan tercepat di lautan,’’

‘’Referensi milikmu sudah jadul. Puncak di lautan itu adalah paus orca.’’

‘’Mungkin referensimu yang jadul, Bi. Paus itu ikan kecil yang cuma menghibur saja!’’

Dua jam kemudian, Muja sibuk mendebat tentang bagaimana hiu mampu dikatakan sebagai predator puncak di lautan. Dikeluarkannya berbagai artikel internet, jurnal ilmiah, dan video milik saluran National Geographic Wild. Semua sumber tersebut hanya ditelan mentah-mentah oleh Birun sambil bergumam kesal, dasar cewek, kalau sudah ngomong bawelnya minta ampun!

Muja tersenyum puas, tanda kemenangan telah berada di tangannya. Dengan bangga diangkatnya gambar hiu yang didapatkan dari internet dan berseru riang, ‘’Bersamaan hal ini, disahkan bahwa hiu adalah predator puncak di lautan. Disahkan oleh Muja secara langsung dan Birun sebagai pihak yang kalah harus membelikan bakso bakar kampus.’’

Birun tersenyum. Rasa sebalnya berubah menjadi senang tatkala melihat gadis berambut pirang itu tersenyum dan bahagia. Ia menggulung lengan kemejanya yang berantakan dan meraih tasnya. Kemudian berdiri, melangkah pergi dari kelas. Muja ikut berdiri, mengikutinya keluar kelas.

Mereka berjalan sambil mengobrol riang. Tentang kelas berikutnya, dosen yang killer, sejarah dunia, hingga cara makan cilok yang benar. Lima menit berlalu, di depan gedung seorang perempuan tengah berdiri. Ketika melihat Birun, perempuan itu tersenyum bahagia dan melambaikan tangannya. Birun membalas lambaiannya.

‘’Aku pergi dulu. Nanti hubungi kalau dosen sudah masuk di jam berikutnya ya, hehe. Bye!’’ Birun meninggalkan Muja yang mengangguk tipis. Birun dan perempuan itu sudah pergi meninggalkan Muja yang masih terdiam.

Lima menit berlalu, Muja masih berdiri diantara mahasiswa dan dosen yang berlalu-lalang. Beberapa cowok memanggilnya, menggoda mengajak ke kantin. Tai kucinglah, gumam Muja.

Ia memilih keluar dan duduk di kursi depan gedung. Disana ada Huna yang lagi duduk membaca komik. Muja menghampirinya, ‘’Yow, yow! Selamat pagi, Wibu! Baca komik apaan tuh?’’

Huna menepisnya, ‘’Ini komik ilmiah ya, bacaanku sudah meningkat!’’

‘’Dih, komik Jepang tuh baca,’’

‘’Males, bentar lagi ujian. Lo tuh, baca juga buku ginian. Giliran ada Mas Birun Tercintah aja baru lo baca buku pelajaran, kan? Bucin gila lo,’’

‘’Kalau ngomong jangan serba fakta semua dong,’’

Muja duduk dan bersandar di bahu Huna. Huna menutup komik dan mengelus kepala sahabatnya itu. Pasti bocah ini sedang memikirkan crush-nya yang sudah berpawang itu. Dan benar, tatapan Muja kosong. Sedang ada sesuatu yang dipikirkan.

Kepalanya memikirkan, kenapa dia gagal? Padahal selalu dia yang ada disamping cowok itu. Kenapa dia bisa ditikung? Apa kurangnya dia? Dia tidak jelek-jelek amat. Akademiknya juga lumayan bagus. Memang agak tengil dan malas, tapi kenapa dia gagal dengan perempuan lain? Kenapa waktu lima tahunnya mengenal Birun kalah dengan perempuan yang baru tiga bulan mengenal Birun? Pertanyaan semacam itu menghantui kepala Muja tiap malam.

‘’Na, menurut lo kenapa gue gagal?’’ Muja bertanya tipis.

Huna menarik nafas. Kambuh lagi bucin akutnya, gumam Huna.

‘’Ja, payung itu cuma muat untuk dua orang. Kalau ada yang ketiga, berarti harus ada yang kehujanan kan?’’ timpal Huna.

Muja menggeleng, ‘’Payung gue gede, Na. Bertiga bukan masalah, kan?’’

‘’Oke, anggap payung lo gede dan lebar. Tapi apakah sudah pasti lo yang akan diajak ngobrol di payung itu? Ingat, masih ada orang lain di payung lo,’’

Muja terdiam. Huna melanjutkan perkataannya, ‘’Mungkin sudah saatnya lo menutup payung lama ini dan membeli payung baru, Ja.’’

Terdengar notifikasi dari hape Muja. Ada pesan dari Birun yang bertanya apakah kelas sudah dimulai. Muja menatap Huna yang menatapnya balik. Terngiang-ngiang ucapan Huna. Muja menggeleng,

‘’Payung gue nggak akan pernah tutup buat Birun, Hun. Tapi gue setuju, sudah saatnya membuka payung baru dan ngajak orang lain untuk jalan bareng di payung baru itu.’’

Huna tergelak, begitu pula Muja. Mereka berdua melangkah ke kelas sambil berangkulan.

Guntur_

Sumber Foto: unsplash.com

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment