Pagi menyapaku dengan sinar mentari yang sangat cerah. Pagi itu aku akan mengawali hari pertama masuk kampus yang menjadi idaman semua orang. Semangatku bergelora karena bertemu teman-teman baru dan yang pasti ada mahasiswi cantik yang bisa diajak berkenalan. Aku pun berangkat sambil berpamitan pada kedua orang tuaku.
“Pak, Bu, aku mau pergi ke kampus,” pamitku.
“Iyaa Nak, hati-hati,” kedua orang tuaku menjawab.
“Iya Pak, Bu,”
Setelah berpamitan, aku pun langsung menuju ke kampus dengan motor butut yang aku miliki.
Sesampainya di kampus, aku memarkirkan motor dan langsung menuju kelas karena sudah menunjukkan pukul tujuh. Saat memasuki kelas, perhatian pertamaku tertuju pada wajah para mahasiswi di sana. Sekilas aku menoleh ke belakang untuk melihat-lihat dan hasilnya tidak ada yang mempunyai paras yang menonjol.
“Aduh, engga jadi semangat kuliah ini,” batinku saja.
Kemudian, dosen datang dan memulai perkuliahan. Awal perkuliahan ini, kita harus memperkenalkan diri, dan saat itulah kesempatanku. Satu demi satu mahasiswa dan mahasiswi memperkenalkan diri. Akhirnya, muncul seorang mahasiswi bernama Arum yang mempunyai paras cantik bak bidadari kayangan. Setelah sesi perkenalan, kelas dibubarkan. Aku berjalan menghampiri Arum untuk berbincang singkat lebih dekat.
“Haiiiii,” sapaku.
“Haiii Bambang ada apa?” jawab Arum
“Cuma menyapa saja kok biar lebih akrab gitu hahaha,” balasku sembari tertawa.
“Oalah gitu ya, oke,” ucapnya diikuti senyumnya yang manis seperti gula.
Aku memberanikan diri untuk meminta nomor ponselnya agar bisa menghubungi dia.
“Boleh aku meminta nomor ponselmu, Rum?” tanyaku.
“Boleh, tapi buat apa?” tanya Arum.
“Buat masukin di grup kelas,” alibiku padahal untuk pendekatan.
Akhirnya dia memberikan nomor ponselnya. Saat itu hatiku bahagia sekali bisa mendapatkan nomornya. Lalu aku mengucapkan terima kasih dan bergegas untuk pulang karena sudah tidak ada mata kuliah lagi.
Sesampainya di rumah, aku bergegas ganti baju, lalu menghubungi Arum untuk memulai pendekatanku. Ternyata respon Arum sangat care dan membuatku semakin kagum dengannya. Obrolan demi obrolan sudah dilalui. Aku tidak menunjukkan kalau aku menyukainya dan mencoba biasa saja seperti teman.
Hari demi hari, bulan demi bulan sudah dilalui dan tidak terasa aku sudah menjalani kuliah selama satu semester, begitu juga kenal dengan Arum. Lama-kelamaan aku sudah mengetahui persis sifat yang dimiliki Arum. Ternyata sporadis nasibku ini. Arum merespon seperti itu bukan hanya kepadaku, melainkan ke semua orang. Perasaanku berkata, “Jika menurutmu itu baik untukmu maka perjuangkanlah, walau di depan banyak rintangan yang menghadang.”
Sejak aku tahu kalau Arum seperti itu, aku pun mencoba tidak membawa perasaan terlebih dahulu dengannya yang notabene dia bak berlian, sedangkan aku masih seperti tembaga yang kelasnya masih di bawah kemegahan berlian.
Arum sudah mengetahui maksudku sering menghubunginya. Suatu hari Arum bertanya kepadaku di kelas.
“Mbang, apa tujuanmu kok sering menghubungiku?” tanyanya.
“Tidak apa-apa kok,” jawabku.
“Tidak mungkin kalau tidak ada maksud apa-apa,” saut Arum.
Hal itu membuatku berpikir, apakah ini waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku kepadanya? Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengutarakan maksudku.
“Aku sering menghubungimu karena dari awal aku sudah mencintaimu dan aku mau kamu jadi pacarku,” sambil gugup saat mengutarakannya.
Terlihat Arum sudah menduganya. “Nah, itukan maksudmu sering menghubungiku.”
“Jadi gimana? Kamu mau apa tidak?” tanyaku.
Arum menjawab dengan cepat. “Mau,” sembari menebarkan senyumnya yang membuatku terkesima.
Aku tiba-tiba speechless karena tidak menyangka kalau Arum mau menjadi pacarku yang bahkan wajahku biasa-biasa saja. Sejak itulah aku menjadi lebih semangat untuk menjalani hidup dan lebih bersemangat mengikuti perkuliahan.
Devi