Era yang serba moderen ini, tiap orang begitu mudah memperoleh informasi dari berbagai sumber, tanpa batas dapat mengakses semua kejadian dari berbagai tempat di muka bumi dan menjadi jalan masuknya berbagai hal baru seperti ilmu pengetahuan, hiburan, budaya, dan lain sebagainya, didukung oleh semakin canggihnya teknologi. Hal tersebut sangat mudah diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan, karena memang teknologi diciptakan untuk memudahkan hidup manusia. Namun diantara beberapa hal positif dari era saat ini tak dapat ditolak munculnya hal negatif yang tak asing lagi di telinga kita, seperti yang sering digaung-gaungkan oleh KPAI, Kemendikbud, Komnas HAM, pakar hukum dan pakar-pakar lain yang terkait membahas dampak globalisasi yang mengakibatkan merosotnya mental dan moral pemuda Indonesia.
Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, angka korban pelecehan seksual terhadap anak semakin tinggi setiap tahun. Faktor yang menjadi sebab naiknya kejahatan seksual salah satunya adalah salahnya pola asuh terhadap anak. Hasil penelitian KPAI, 70% orang tua belum mampu mengasuh anak mereka dengan metode yang cocok. Kecenderungan orang tua mendidik anak hanya berorientasi pada pendidikan akademik. Bukan pendidikan mental dan persoalan sosial yang dihadapi anaknya.
Masalah berbeda, Indonesia Police Watch (IPW) merilis sejumlah kejahatan yang dilakukan anak-anak di bawah umur. Dalam enam bulan terakhir, kejahatan yang dilakukan anak-anak di bawah umur di Jabodetabek tampak makin sadis. Bahkan dalam kasus terakhir, terdapat anak yang berani menggorok leher kawannya hanya karena masalah sepele yang berujung pertengkaran mulut. Sebagian besar kasus kejahatan oleh anak, terutama pembunuhan, memang berakar dari masalah sepele dan korbannya kebanyakan adalah teman akrab dan teman main pelaku. Faktor lingkungan tersebut lambat laut akan menginspirasi anak untuk meniru. Tayangan televisi yang berisi pornografi, lalu games bernuasa kekerasan ikut berpengaruh pada perilaku anak.
Beberapa waktu terakhir pun, sedang hangat pembicaraan tentang kasus beberapa guru yang harus berurusan dengan pengadilan karena memukul atau mencubit anak didiknya dengan maksud memperbaiki moral anak didiknya. Hal ini tentu menjadi perhatian banyak pihak, terkait dengan hal tersebut salah satu pakar hukum ikut berkomentar di akun sosialnya, “Waktu saya sekolah dulu orangtua saya sering datang berterima kasih kepada guru jika guru menghukum saya. Sekarang moral rontok,” ujar Mahfud MD ikut berkomentar via akun Twitternya beberapa waktu lalu.
Kalian tentu mengenal brand tas Hermes atau sepatu Nike, Adidas, Puma, Saucony, Onitsuka, New Balance, Converse, Vans, sampai dengan Underarmor dibandingkan dengan merek lokal sendiri seperti Specs, Tomkins, League, dan Pierro. Hal ini tentu menimbulkan keprihatinan, penduduk Indonesia lebih mencintai produk-produk luar negeri yang sebenarnya kualitas produk dalam negeri tidak kalah dengan kualitas produk luar negeri. Beberapa orang mengaku gengsi memakai produk dalam negeri dan lebih memilih produk luar negeri, jika hal ini terus terjadi maka akan sulit bagi Indonesia untuk menguasai pasar dunia. Sungguh miris, generasi muda merupakan generasi yang nantinya akan meneruskan kelangsungan hidup bangsa dan Negara.
Pemanfaatan Nilai Luhur Budaya
Nilai luhur budaya, pengetahuan dan praktik, baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun dari pengalaman dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi. Adapula budi pekerti luhur dapat dikenalkan dengan cara komunikasi dengan orang tua, menceritakan kisah/dongeng lokal yang bernilai budi luhur, dan mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sekolah merupakan tempat yang efektif dalam rangka membentuk karakter generasi muda, karena pendidikan dapat menekankan keseluruhan aspek sebagai pengajaran dan bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan serta sebagai jalan untuk memberikan pengenalan dan kesadaran terhadap lingkungan, dari sinilah generasi muda bangsa berkembang. Nilai budaya dapat masuk kurikulum seperti adanya mata pelajaran muatan lokal, dimana dengan hal tersebut siswa dapat memahami filosofi berbagai budaya daerah dan mengambil nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Selain di sekolah, lingkungan masyarakat perlu menerapkan pola hidup tolong-menolong, hal ini dapat mengaktifkan empati generasi muda, menumbuhkan jiwa sosial serta meningkatkan kemampuan problem solving yang tentu hal itu sangat bermanfaat di masa depan. Apalagi Indonesia merupakan negara yang besar yang terdiri dari ribuan gugusan pulau, ratusan suku, ratusan bahasa, dan negara yang mengakui enam kepercayaan, dapat hidup damai di bawah panji Pancasila, hal itu tak lepas dari ajaran-ajaran tradisional yang mengutamakan persatuan, dengan mengajarkan untuk menerima perbedaan, mengasah kelebihan dan kekurangan menjadi sebuah kekuatan. Hal ini sangat perlu dilakukan agar integrasi bangsa dapat terjaga dengan baik. Terakhir, menanamkan rasa takut dan malu agar dapat mengevaluasi setiap tindakan mereka dan berfikir panjang sebelum melakukan sebuah keputusan, karena setiap keputusan ada konsekuensi yang harus di pertanggungjawabkan. Sifat ini dapat di pupuk dengan mengisahkan kisah-kisah legenda nusantara yang mengajarkan pesan moral kepada generasi muda seperti kisah Malin Kundang. Mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa kepada generasi muda masa depan merupakan hal yang perlu dilakukan demi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui bahwa banyak dari generasi muda saat ini telah terasuki pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indoenesia yang terkandung dalam Pancasila. Untuk itu, kebersamaan dalam membangun bangsa yang berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa sangatlah perlu dilakukan.
Tyas Nur Faizah