Sebagai negara agraris yang memiliki hasil minyak sawit melimpah ruah, kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng seolah mencerminkan kegagalan Indonesia mencapai kedaulatan pangan.
Tercatat hingga tahun 2021 perkebunan sawit membentang seluas 15,08 juta hektare di Indonesia. Jika satu hektar lahan dapat menghasilkan 10 ton minyak dalam satu tahun, maka apabila dikalikan dengan luas lahan yang ada kebutuhan minyak sawit di Indonesia lebih dari sekadar cukup.
Namun di sinilah kita hari ini, di tengah sulitnya kondisi akibat kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, lucu dan tragis rasanya.
Mungkin saat ini kita telah bosan melihat pemberitaan di televisi yang setiap hari apabila tidak membahas isu selebriti hanya membahas soal kenaikan harga minyak goreng dan cerita-cerita lucu yang mengiringinya.
Contohnya saja cerita warga yang mewakilkan dirinya dengan sandal jepit untuk mengantri membeli minyak goreng di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Media seolah berusaha mencari topik menarik dan menghibur di tengah kondisi yang serius belakangan ini. Sejak awal tahun keberadaan minyak goreng di pasaran mengalami kelangkaan.
Stok minyak goreng di berbagai swalayan dan pasar tradisional mulai menipis. Para pedagang kelimpungan, distribusi tersendat, stok sedikit, sedangkan permintaan terus naik.
Butuh waktu beberapa saat hingga persediaan minyak goreng kembali normal di pasaran. Berbagai merk minyak goreng dengan berbagai kemasan dan ukuran kembali memenuhi rak swalayan dan etalase toko sembako.
Namun harga yang ditawarkan membuat masyarakat mengernyitkan dahi.
Dari yang semula harga satu liter minyak goreng kemasan lima belas ribu rupiah, kini harga yang ditemukan di pasaran naik hingga mencapai dua puluh empat ribu rupiah.
Ibu rumah tangga menggeram marah, pengusaha kuliner menjerit, bahkan pedagang gorengan yang tidak mampu mengimbangkan antara modal dan penghasilan memilih gulung tikar.
Yang bertahan pun kini harus menaikkan harga penjualan atau mengurangi porsi makanan yang dijual. Pelanggan yang dulu mengantri panjang kini juga berpikir ulang, kehilangan ketertarikan.
Kondisi ini tak hanya mengundang hawa panas bagi pelaku usaha dan ibu rumah tangga, namun masyarakat umum dan golongan mahasiswa juga memiliki keresahan yang sama.
Aksi “Selamatkan Pangan” dilakukan untuk menuntut kebijakan penurunan harga minyak goreng di pasaran. Kenaikan harga minyak goreng saat ini seolah merupakan bentuk kegagalan Indonesia sebagai negara agraris untuk mencapai kedaulatan pangan.
“Mungkin kita belum melewati masa daulat pangan, krisis itu kan terjadi ketika kita sudah tercukupi namun kemudian kita berkurangan. Sebenarnya kita bukan kekurangan, kita melimpah ruah, cuma mungkin distribusinya yang belum merata, jadi ada kelangkaan.” Ungkap Ahmas Sayaf, mahasiswa Agroteknologi UNILA dalam room chat Whatsapp (10/4).
Mengenai penyebab macetnya distribusi minyak, Ahmas menyatakan bahwa hal ini mungkin disebabkan karena permainan kartel mafia.
“Untuk kenaikan harga minyak, kalau ngomongin rumus ekonomi tentang hubungan antara persediaan dan permintaan, itu kan klasik banget ya. Apalagi ini kan kebutuhannya bukan di hari raya atau hari-hari besar, kemungkinan kelangkaan karena permainan kartel-kartel mafia, setiap komoditas itu ada mafianya.” Terang Ahmas (10/4).
Selain itu Ahmas juga menyebutkan faktor lain yang mungkin menyebabkan kelangkaan yaitu dari penggunaan biodiesel yang memakan hingga dua puluh persen minyak sawit sebagai bahan bakarnya.
Namun pendapat ini tidak cukup kuat mengingat Indonesia memiliki hasil perkebunan sawit yang melimpah sehingga nyaris mustahil jika untuk memenuhi pasar domestik saja hingga terjadi kelangkaan.
Yang perlu dicurigai adalah permainan dagang yang kotor dari tengkulak culas dan kartel mafia yang disinggung sebelumnya.
Kini pada akhirnya rakyatlah yang harus menolong sesamanya.
Untuk keluar dari lingkaran penderitaan, rakyat perlu bersatu mencari solusi alternatif.
Rakyat tidak bisa selamanya menggantungkan harapan pada kebijakan konstitusi yang alih-alih menyelamatkan malah seringkali menghampakan.
Dalam kondisi yang seperti anekdot ini, rakyat harus bersama-sama memperjuangkan tegaknya daulat pangan di Indonesia, negara agraris kita.
Anisa_
Sumber Foto: Google