Home Cerpen NARA YANG TAKUT BAHAGIA

NARA YANG TAKUT BAHAGIA

by admin
0 comment

Berada di tengah tengah euforia pentas seni di kampusnya, gadis berambut ikal tengah melompat kecil dengan bahagia. Sesaat lompatan kecil itu terhenti sembari melihat jam di layar ponsel.

“Aku pulang duluan, ada kerjaan,”

“Ah iya, hati–hati di jalan, Nar.”

Ia melangkah menjauhi kerumunan menuju halte bus di depan kampus dengan senyuman yang perlahan mulai memudar.

Sifatnya yang mudah membaur dan menyesuaikan diri membuatnya memiliki banyak kawan dan banyak orang menyukai kepribadiannya. Ia senang akan hal itu, ia merasa beruntung memiliki banyak orang di dekatnya. Dia membayangkan betapa senangnya hari esok, saat ia berhasil menggapai cita–citanya, bersama hiruk pikuk pertemanan ini hingga dewasa, bertemu orang yang tepat sebagai pendampingnya lalu hidup dengan damai. Belakangan ini ia merasa bahwa ia telah sedikit bangkit dari keprihatinan hidupnya. Namun ia tersadar kembali, apakah ini kebahagiaan yang nyata?

Dia Nara, si pemimpi yang selalu berusaha menepis pikiran-pikiran buruk di otaknya. Ia selalu mencoba melakukan apa yang ia senangi dan berusaha mengesampingkan hal serta pikiran tidak menyenangkan mengenai hidupnya. Yang orang-orang tau Nara adalah si pantang menyerah yang selalu tersenyum. Memang iya benar, senyuman tidak pernah terbenam dari bibir Nara. Tapi hidup Nara sepertinya tidak seringan itu.

“Maaf Pak, tapi tunggakan sudah terlalu banyak. Kita sudah memberi perpanjangan waktu untuk membayar beberapa bulan terahkir. Kantor pusat mengutus saya untuk menyegel rumah Bapak.”

Suara itu terdengar dari pria asing berbaju rapi yang ada di rumahnya. Nara yang baru sampai rumah sedikit bingung dengan keadaan ini.

“Apa tidak ada kesempatan lagi, Pak? Saya janji di akhir bulan akan saya cicil beberapa”

Tidak ada jawaban, pria asing itu pergi dengan meninggalkan jejak di tembok rumah Nara yaitu ‘rumah ini disita’.

“Kami harus pergi dari sini,” batin Nara. Ia paham situasi ini, bukan kali pertama. Tapi kali ini keadaan benar-benar serius.

Saat ini Nara merasa bersalah, berani-beraninya ia besenang-senang sedangkan orang tuanya dalam kesulitan yang disebabkan karena membiayainya. Ia merasa bersalah, ia menyesal. Nara memang berasal dari keluarga yang berada di bawah batas mampu, namun tekadnya yang kuat membuat orang tuanya yakin untuk mendukung satiap langkah Nara.

“Ayah, kita harus pergi kemana?”

“Kita pindah ke desa saja ya, Nak? Urusan kedepannya bagaimana, biar ayah dan ibu yang pikirkan.’’ Jawab ayah Nara.

****

Di sinilah mereka, di rumah peninggalan keluarga ayah Nara. Desa dengan penuh kesederhanaan. Meninggalkan kehidupan sebelumnya di tanah rantau, orang tuanya mencoba memulai kembali semuanya dari awal.

Nara menyesal. Ini salahnya, pikir Nara. Harusnya Nara fokus belajar saja, jangan terlarut dalam kesenangan-kesenangan fana seperti kemarin. Dia harusnya ingat, setiap kali ia berusaha untuk menyenangkan diri pasti berakhir hal buruk seperti ini. Nara merasa mendapatkan hukuman atas apa yang ia lakukan kemarin.

“Ayah ibu, Nara minta maaf. Apa Nara berhenti kuliah saja? Nara bisa kerja untuk membantu ekonomi keluarga kita,”

“Kenapa? Kamu belajar abis-abisan buat masuk kampus itu kan? Kenapa mau berhenti?” Ibu paham betul, Nara sangat senang kehidupan perkulihannya

Nara diam menatap mata ibu dan menangis, ayah dan ibunya paham apa yang putrinya rasakan. Malam ini menjadi malam haru bagi keluarga kecil mereka, isakan kecil masih terdengar, pikiran semua orang di rumah itu tengah gaduh mencari jalan keluar.

*********************

Nara pergi. Atas titah orang tuanya ia kembali ke kota yang hampir satu bulan ia tinggalkan. Dengan perasaan yang tidak enak Nara mengiyakan perintah orang tuanya. Ia ragu apakah ini jalan yang tepat untuk diambil, apakah ia tidak terlalu jahat bertindak seperti ini? Ia takut akan menjadi beban lebih besar. Namun ia tetap berangkat.

Dengan ragu, Nara takut. Ia pikir, ia harus lebih membatasi diri.

“Tujuanku hanya untuk menyelesaikan studi, jangan sampai lengah lagi. Kesenangan bukan untuk orang-orang sepertiku. Aku terlahir untuk berjuang bukan untuk bersorak menikmati waktu.”

Nara memutuskan untuk menghentikan semua kegiatan yang disenanginya di luar studi. Ia tidak yakin apakah tindakannya tepat, ia hanya mengantisipasi agar tak terlalu larut dalam hal fana yang membuatnya lupa dengan tujuannya kembali.

_April

 

 

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment