Dibuang tentu saja merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan. Kamu tidak perlu merasakannya untuk tahu bagaimana rasanya ketika dibuang. Sakit. Rasanya seperti ada berton-ton batu yang menimpamu, membuatmu megap-megap mencari udara. Hidupmu seakan berada di tepi jurang. Ingin melompat, tapi takut jika tulang-tulangmu hancur berderak membentur tanah. Ingin tetap hidup, tapi tak menemukan lagi semangat hidup.

Oke, mungkin dibuang merupakan kata yang terdengar kejam. Mungkin lebih pas jika menggunakan kata ditinggalkan.

Ya, aku ditinggalkan. Oleh keluargaku sendiri.

***

Hari itu adalah hari Rabu di bulan Januari. Di luar sana sedang hujan deras dan aku memutuskan untuk tidur bergelung di tumpukan bantal. Aku yang sedang tidur terlelap tiba-tiba saja tersentak bangun karena Alna membanting pintu kamarnya dan menguncinya.

“Pokoknya aku nggak mau!” ujar Alna keras dari dalam kamarnya.

Aku mengerjapkan mata, memerhatikan ibu yang berdiri di depan pintu Alna seraya mengetuknya dengan pelan. “Alna, Ibu tahu kamu sangat sayang Mora, tapi kita harus melakukannya,”

“Nggak boleh!” seru Alna. “Jangan buang Mora!”

Aku yang mendengar itu langsung menegakkan telingaku. Dengan cepat, aku melompat turun dari sofa dan menghampiri ibu yang masih berdiri di depan pintu Alma.

Melihat kehadiranku, ibu tersenyum dan berjongkok di hadapanku. “Hai, Mora,” ujarnya seraya mengelus puncak kepalaku. Aku membalasnya dengan mendorong tangannya dengan kepalaku. Saat ibu berhenti mengelus puncak kepalaku, aku menatap wajah ibu dengan lama dan berujar parau, “Meong,”

Dengan senyum tipis, akhirnya ibu mengangkat tubuhku dan mengelusku. Ibu berjalan ke ruang tamu untuk menaruhku kembali ke atas sofa. Melihat ibu yang duduk di sofa, aku berjalan ke arahnya dan tidur di dekatnya. Tak lupa aku melingkarkan ekorku untuk menghangatkan tubuhku. Mataku terpejam saat merasakan tangan ibu menyentuh kembali puncak kepalaku, membelainya. Mataku terpejam, tapi telingaku tajam. Aku mendengarkan setiap kata dari ibu.

“Maaf, ya, Mora,” ujar ibu tanpa menghentikan gerakan tangannya. “Ibu terpaksa harus mengeluarkan kamu dari rumah ini.”

Ibu berhenti mengelusku, membuatku langsung mengangkat kepala dan menatapnya. Ibu sedang bersandar dan memandang lurus, tidak melihat ke arahku.

“Meong,” ujarku untuk mengalihkan pandangan ibu. Ibu segera menoleh dan tersenyum ketika melihat wajahku.

“Alya alergi bulu kucing.” ujar ibu pelan. Aku menurunkan telingaku, tahu arah pembicaraan ibu akan ke mana. Aku akan dibuang.

“Yah, meskipun Alna bersikeras melarang kamu untuk dibuang, tapi kami harus melakukannya,” Ibu kembali mengelusku, tapi kali ini ibu mengelus punggungku, bukan puncak kepalaku. “Maaf ya, Mora.”

Jadi begitulah kisahku. Aku dibuang oleh keluargaku.

Jangan tertawa! Walaupun kami berbeda, aku sudah menganggap mereka sebagai keluargaku sendiri. Mereka sangat  menyayangiku, meskipun pada akhirnya mereka meninggalkanku sendiri.

“Sedih sekali hidupmu,” ujar Hitam di sela-sela kegiatan menjilati bulunya. Ia baru saja selesai memakan ayam yang kami temukan di dekat tong sampah. “Jika aku dirimu, mungkin aku sudah bunuh diri.”

Tanpa Nama—aku memanggilnya begitu karena kucing betina itu mengaku tidak memiliki nama—menggeram ketika mendengar ucapan Hitam. “Jangan asal berbicara, Bung,”

Hitam menghentikan kegiatan bersih-bersihnya. Dia merenggangkan tubuhnya dan duduk dalam mode sphinx. “Kadang-kadang aku tak mengerti jalan pikiran manusia,”

Mendengar itu, aku menjawab dengan pelan, “Karena manusia memang makhluk yang rumit,”

Kedua teman baruku itu terdiam. Kami baru saja menghabiskan sepotong ayam yang hampir basi di dekat tong sampah. Setahuku, si Hitam yang paling rakus melahapnya, tetapi kali ini ia mengeong lagi, mengeluh kalau ia masih lapar.

“Menyebalkan,” Tanpa Nama mendesis karena Hitam masih saja mengeluh.

Kami sedang duduk di depan rumah bercat biru ketika tiga murid Sekolah Dasar berjalan melewati kami. Sepertinya mereka baru saja pulang sekolah karena mereka menggendong ranselnya. Para siswi itu memandang kami sambil tertawa pelan.

Salah satu anak perempuan maju selangkah, membuat kami semua panik. Si Hitam sudah berlari meninggalkan kami berdua, membuat kedua siswi menjerit karena Hitam hampir menabrak kaki anak-anak itu. Sementara aku bersembunyi di balik pot bunga yang tak jauh dari tempat kami duduk-duduk tadi.

Saat mengintip, aku melihat Tanpa Nama sedang mendesis kepada anak perempuan yang berusaha mendekatinya.

Anak perempuan itu tertawa saat salah satu temannya menyuruhnya untuk segera mempercepat apa yang dilakukannya. Rambutnya yang hitam sebahu bergoyang-goyang pelan saat dirinya mencoba untuk menghampiri Tanpa Nama yang masih mendesis dan menegakkan bulu-bulunya.

Saat anak perempuan itu mengulurkan tangannya, Tanpa Nama mengeluarkan cakarnya dan menggoreskannya pada tangan anak itu. Ketika anak itu menjerit, Tanpa Nama segera menggunakannya untuk melarikan diri. Ia menghilang di tikungan yang sama dengan Hitam, ke tempat persembunyian kami.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya anak-anak yang lain, khawatir. “Lisa nggak terluka, ‘kan?”

Jadi anak perempuan itu bernama Lisa.

“Nggak apa-apa, kok. Dicuci dan diobati juga pasti sembuh,” ujarnya pelan seraya menggelengkan kepalanya, tapi wajahnya meringis menahan perih yang menjalar di tangannya.

“Makanya jangan main sama kucing,” ujar salah satu temannya.

Mendengar itu, Lisa hanya tersenyum. “Aku cuma ingin mengelusnya.”

“Tetap saja itu kucing liar, Lis,” suara lain menimpali.

“Mau kucing liar atau enggak,” ujar Lisa pelan, tersenyum. “Mereka tetap makhluk hidup.”

Mendengar hal itu dari seorang anak kecil membuatku terharu. Anak perempuan bernama Lisa itu membantku menemukan semangat hidup kembali. Aku masih dihargai. Masih banyak yang menghargai kami—kucing liar. Masih banyak yang menyayangi kami, meskipun mereka bukanlah keluarga kami.

Lisa membuka ranselnya dan mengeluarkan kotak bekalnya.

“Mau apa?” tanya salah satu temannya yang memiliki potongan rambut bob. Ia mengernyitkan dahi saat melihat Lisa melakukan hal-hal aneh di matanya.

“Membuang tulang. Kebetulan tadi bekalku ke sekolah itu ayam, jadi tulangnya lebih baik buat kucing di sekitar sini.” jawab Lisa.

“Tapi,” ujar teman yang satunya, mengernyitkan dahinya sekilas. Anak ini mengikat rambutnya menjadi ekor kuda. “Kucingnya sudah kabur semua, Lis.” protesnya.

Lisa membuang tulang-tulang itu ke tepi jalan, tidak memedulikan protes si kucir kuda. “Siapa tahu mereka kembali lagi, ‘kan?”

Setelah semua tulang tandas dari kotak bekalnya, Lisa memasukkannya kembali ke dalam ransel dan memandang kedua temannya yang masih mengerutkan dahi. “Setidaknya aku sudah menolong kucing-kucing liar yang mungkin kelaparan itu, ‘kan?”

Kedua temannya itu tertawa dan mengangguk-angguk. “Mungkin kalau aku punya sisa tulang aku akan memberinya pada kucing.” ujar anak perempuan berambut bob.

Mereka bertiga tertawa-tawa dan melangkahkan kaki kembali melanjutkan perjalanan pulang. Setelah memastikan mereka sudah jauh, aku keluar dari tempat persembunyian dan menghampiri tulang-tulang yang tadi diberikan Lisa. Aku mengendus-endus dan merasakan perutku bergolak, seolah-olah lapar tidak pernah absen dari hidupku.

Aku memanggil Hitam dan Tanpa Nama. Seketika itu juga mereka berlari menghampiriku, bahagia ketika menemukan tulang-tulang ayam.

Tanpa membuang waktu, kami segera melahap tulang-tulang itu. menggigitnya, mengoyaknya, menguyahnya, menelannya untuk cadangan energi kami. Kami bersyukur masih ada orang yang berbaik hati memberikan makanan pada kami—kucing liar. Meskipun mungkin perbuatan Lisa merupakan perbuatan sederhana, tapi kami sangat berterimakasih karenanya kami bisa makan lagi.

Faridatul Mardhiyyah

Mahasiswa Perndidikan Sejarah 2016

 

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment