BEM FKIP gelar diskusi Kajian Isu Kampus (KIK) #3 mengenai dugaan adanya komersialisasi pendidikan pasca status UNS sebagai PTN-BH.
Universitas Sebelas Maret (UNS) telah mempersiapkan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) sejak tahun 2016 atas rekomendasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Hingga akhirnya pada tanggal 6 Oktober 2020 UNS resmi menjadi PTN-BH dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2020. Status UNS saat ini bisa dibilang menjadi salah satu pencapaian yang membanggakan. Meski begitu, pencapaian ini tentu saja menimbulkan berbagai perubahan mulai dari birokrasi dan lain-lain yang dalam perubahannya perlu dikaji lebih lanjut. Alqis Bahnan selaku Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) juga mempertanyakan kesiapan UNS sebagai PTN-BH karena berbagai perubahan yang terjadi banyak menimbulkan dampak negatif bagi mahasiswa.
Diskusi yang diadakan oleh BEM FKIP pada hari Minggu, 22 Agustus 2021 di platform Zoom Meeting membahas beberapa isu yang ada seperti komersialisasi pendidikan hingga kebijakan UNS pra PTN-BH. Firdausi Shofia Brilianty, Menteri Analisis Kampus dan Pendidikan Tinggi BEM UNS 2020 menilai bahwa UNS terlalu cepat untuk mengubah UNS menjadi PTN-BH karena pada awal tahun 2020 belum ada isu mengenai peresmian UNS menjadi PTN-BH. Ia juga menjelaskan bahwa sebelum ditetapkannya UNS sebagai PTN-BH, terdapat Surat Edaran (SE) Dikti No. 21/E/T/2012 dan SE Dikti No. 274/E/T/2012 tentang pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai salah satu bentuk antisipasi agar pembayaran kuliah hanya dibayarkan satu kali selama satu semester dan tidak ada pungutan lainnya. Selain itu, juga terdapat Permenristekdikti No.39 tahun 2017 mengenai besaran UKT yang harus memperhatikan Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Namun realitanya, pada tahun 2018 pihak UNS menaikkan UKT jalur Seleksi Mandiri (SM) hingga ke tiga golongan tertinggi dan melampaui biaya tunggal.
Tak hanya itu, peniadaan Sumbangan Pengembangan institusi (SPI) golongan 1 sebesar nol rupiah pada tahun 2020 juga menimbulkan berbagai pertanyaan. Berdasarkan kajian SPI Aliansi UNS Peduli Pendidikan Tahun 2019, penentuan SPI didasarkan pada minat dari prodi yang bersangkutan. Semakin besar angka ketetatan prodi, maka akan semakin besar pula nominal SPI. Hal ini menjadi indikasi adanya komersialisasi pendidikan karena melihat pasar dalam menentukan jumlah nominal pembayaran. Situasi ini akan berdampak pada masyarakat bawah yang kurang mampu untuk membayar biaya pendidikan. “PTN-BH menjadikan kampus mempunyai otonom besar untuk mengurus segala bentuk aktivitas kampus,” jelas Firdausi.
Zakky Musthofa Zuhad, selaku pembicara kedua memandang pendidikan yang semakin tidak komersiil hingga saat ini. Zakky mengungkapkan hal itu tidak hanya terjadi di UNS saja, tetapi juga terjadi di luar UNS. Selain itu, Zakky juga menyinggung masalah dihapuskannya SPI nol rupiah yang sebelum tahun 2020 masih berlaku. Menindaklanjuti hal tersebut, Zakky mengaku sudah bertemu tatap muka dengan Hasan Fauzi selaku wakil ketua majelis Wali Amanat (MWA). Dari hasil pertemuannya tersebut, Hasan mengungkapkan bahwa MWA lebih tinggi dari Permendikbud. Namun, Zakky mengungkapkan bahwa SPI nol rupiah masih bisa diperjuangkan oleh seluruh mahasiswa di UNS. “Cara untuk menyatukan mahasiswa bisa dilakukan dengan menetapkan tujuan sebelum bersatu, membangun cara berpikir objektif, berkonsolidasi. Agar mahasiswa tidak apatis sebisa mungkin selalu berpikir kritis dan menimbulkan keresahan yang bisa didiskusikan bersama”, ungkap Zakky.
Firdausi berharap bahwa dengan segala kebijakan yang ada, mahasiswa UNS bisa bersatu agar dapat memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Ia juga menambahkan bahwa student government harus diperkuat supaya dapat memberikan peranan yang terbaik kepada seluruh mahasiswa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Zakky, ia berharap agar mahasiswa bisa bersatu dan berkonsolidasi bersama, berjalan dengan orang-orang yang mempunyai perjuangan yang sama.
Adib_
Indah_