Home Cerpen Menikah Adalah Nasib, Mencintai Adalah Takdir

Menikah Adalah Nasib, Mencintai Adalah Takdir

by admin
0 comment

Ketika embun pagi masih bermanja untuk berada di antara dedaunan hijau daun tanjung, ketika semua terasa hening tak menyapa, dan ketika matahari masih bermalas-malasan untuk melakukan tugas rutinnya. Pandu mulai sibuk untuk berbenah menyiapkan diri untuk menyambut sinar matahari yang entah kenapa untuk hari ini Pandu harap tak akan melihatnya. Jika Pandu melihat dan measakan hangatnya sinar sang mentari maka kabar semalam yang Pandu dapatkan terasa semakin nyata. Pandu tak ingin semua itu menjadi nyata. Pandu melangkahkan kaki menuju tempat di mana bus-bus kota biasa berhenti. Di sepanjang jalan, Pandu mendengar suara orang-orang menawarkan barang daganganya, dengan kata-kata yang mencoba mempengaruhi siapa saja yang mendengar, akan terbujuk rayunya. Sedang yang lain berkata-kata layaknya seorang pejabat yang menawarkan kenyamanan dan keindahan.

“Ayo dibeli produk Jintam Putih, dijamin asli dan lebih terasa kenikmatannya,”

“Berapa ini?” tanya seorang ibu-ibu sebagai pelanggannya.

“5.000 per picis,”

“Ini benar asli dan dijamin kenikmatan nya?” tanya  pelanggan tersebut pada penjual.

“Dijamin 100 %, dijamin kenikmatnnya,” penjual tersebut mencoba menyakinkan.

Akhirnya ibu tersebut membeli 10 picis jintam putih lalu pergi meninggalkan penjual tersebut.

“Mau aja dikibuli,” guman penjual tersebut setelah pembelinnya pergi.

“Kau menipunya?” tanya Pandu tiba-tiba pada penjual tersebut.

Pandu sejak tadi memperhatikan kegiatan transaksi penjual dan pembeli dari samping lapak tersebut.

“Tahu apa kau tentang menipu?” sambil tersenyum pada Pandu.

“Aku hanya berkata-kata yang bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita anak muda,” ucap penjuan sambil memegang pundak Pandu dan berlalu berjalan pergi.

Kata kata memang tidak mengubah apa-apa, kata-kata memang tidak ada gunanya, dan selalu sia-sia. Lagi pula siapa yang sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata, tanpa mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa ada yang peduli ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka tidak peduli dengan kata-kata mereka sendiri. Setelah menunggu beberapa lama, bus yang Pandu tunggu sudah datang.

“Surabaya… Surabaya… Surabaya, Mas ?”

“Iya Mas,”

“Ayo, naik naik!”

Pandu naik dan  duduk paling belakang dekat dengan jendela. Bus pada saat itu masih tergolong longgar. Sambil menarik napas panjang, Pandu terus memikirkan cara meyakinkan dirinya untuk bisa bertemu dengan Arimbi, gadis pujaan hatinya yang akan dipersunting oleh seorang laki-laki pilihan keluarganya. Pandu terus berpikir bagaimana cara untuk menghentikan pernikahan tersebut. Sesaat kemudian, bus yang ditumpangi Pandu mulai berjalan. Mata Pandu mencoba mencari pemandangan yang setidaknya bisa menyejukkan hatinya yang terasa sesak. Namun, yang Pandu peroleh hanya penampakan hiruk pikuk ibu kota yang masih sama seperti pertama kali Pandu menginjakkan kaki di Jakarta 10 tahun yang lalu.

“Tiketnya mas?” Suara kernet bus menyadarkan lamunan Pandu.

Pandu mengeluarkan uang pecahan 20.000 untuk ditukarkan dengan selembar tiket.

“Ini mas,”

“Makasih mas,” sambil mejulurkan selembar tiket kepada Pandu.

Setelah mendapatkan tiket, Pandu kembali tenggelam dengan lamunannya memikirkan Arimbi. Pandu sempat berpikir, setibanya di Surabaya dia akan mengajak Arimbi pergi jauh dari Kota Pahlawan tersebut. Pandu juga berpikir untuk tinggal di luar negeri berdua saja dengan Arimbi.

“Tapi apa Arimbi mau?” guman Pandu

Arimbi adalah seorang yang sangat patuh pada orang tuanya. Selama Pandu mengenal Arimbi, dia tak pernah membangkang kepada orang tuanya. Perilaku Arimbi itulah, salah satu yang membuat Pandu jatuh hati pada Arimbi. Namun, pendirian Arimbi tersebut yang langsung meruntuhkan harapannya untuk melaksanakan rencana membawa arimbi pergi ke luar negeri bersamanya. 

“Tidak mungkin!” gumam Pandu sambil mengacak-acak rambut kusutnya.

Pandu kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela bus yang ia tumpangi untuk mengusir kebosanan. 5 menit kemudian, Pandu teringat bahwa dia menyimpan suatu barang berharga di dompetnya. Pandu mengambil satu lembar foto yang memang sengaja ia taruh di dalam dompet kulit miliknya. Tentu saja itu bukan dompet kulit asli, dompet kulit itu hanya imitasi. Pandu sebenarnya saggup jika membeli dompet kulit asli dengan uang kerja kerasnya selama ini, tetapi ia tak akan melakukannya. Pandu tidak mau membuat hidupnya yang semrawut menjadi makin rumit karena menuruti gengsi. Beberapa waktu kemudian, bus yang ditumpangi Pandu berhenti di halte bus Cirebon. Banyak orang yang naik ke dalam bus.          Pandu sedikit bergeser ke kanan memberikan ruang pada seseorang untuk duduk di kursi yang sama dengannya.

“Mau ke Surabaya mas?” tanya seorang bapak paruh baya yang duduk di samping Pandu.

“Iya Pak,”

“Kerja di Jakarta?”

“Iya Pak,”

“Asli orang jawa?”

“Iya Pak,”

“Saya juga orang jawa, tapi sedang berkelana,” ucap Bapak itu sambil tertawa kecil.

“Kerja di mana?”

“Di kantor furniture di Jakarta,”

“Oohhh orang bisnis, kerjaanmu pasti membosankan. Kau pasti merasa tertekan karena selalu menerima perintah dan menjalankan perintah dari bosmu. Kau seharusnya bekerja sepertiku. Tapi tidak semua orang bisa bekerja sepertiku. Butuh keahlian khusus, yang hanya keturunan ahli saja yang bisa bekerja sepertiku. Aku bisa mengubah jalan hidup seseorang hanya dengan gerakan tangan keriputku ini. Aku bisa mengubah yang semula ada menjadi tidak ada,” jelas Bapak itu.

Pandu berpikir, sekiranya pekerjaan apa yang membuat sesuatu ada menjadi tidak ada?

Mungkin Bapak ini seorang pesulap,” guman Pandu dalam hati

“Aku bukan pesulap,” ucap Bapak itu tiba-tiba

Seketika Pandu kaget. Bagaimana bisa bapak paruh baya ini tahu apa yang dia pikirkan?

Apa dia seorang dukun atau paranormal?” guman Pandu dalam hati lagi

“Aku juga bukan dukun,”ucap Bapak itu lagi. 

Pandu kaget bukan kepalang. Bapak paruh baya itu dapat menebak jalan pikiran Pandu. Akhirnya Pandu memberanikan diri untuk bertanya pada Bapak paruh baya itu.

“Bagaimana bapak bisa tahu semua pertanyaan yang saya pikirkan?” tanya Pandu.

“Aku hanya menebaknya saja,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Pandu terheran-heran pada Bapak paruh baya yang duduk di sampingnya. 2 menit kemudian, Bapak paruh baya itu kembali bertanya kepada Pandu tentang foto yang sedari tadi dipegang oleh Pandu.

“Foto anaknya?” tanyanya.

“Aah, bukan Pak,” jawab Pandu.

“Benar juga, kamu masih muda mana mungkin punya anak,” balas Bapa itu sambil tertawa kecil.

Pandu hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

“Foto adiknya ya?” tanya Bapak itu lagi.

“Bukan Pak,” jawab Pandu lagi.

Bapak paruh baya itu mengangguk-angguk sambil membenarkan posisi duduknya yang semula menghadap ke arah Pandu.

“Foto kekasihmu?” tanya Bapak itu yang kali ini tanpa memandang ke arah Pandu.

 Pandu hanya diam sambil menunduk kembali memandang foto gadis kecil berlatar belakang pantai yang ditemani senja sempurna itu. Foto Arimbi saat kecil memang sangat imut dan menawan. Mata Pandu tak pernah lelah dan bosan memandang wajah imut Arimbi. 10 tahun belakang, foto itulah yang menggantikan senja sore Pandu. Foto Arimbi bagaikan senja yang sempurna bagi Pandu dan tak ada yang bisa menandinginya bahkan sinar sang surya penguasa pagi.

Sambil menghela napas panjang, Bapak paruh baya itu bertanya lagi pada Pandu, tetapi kali ini pertanyaannya benar-benar tidak bisa dijawab oleh Pandu.

“Rindu?”

Pandu hanya diam tak menjawab sambil tetap menunduk memandang foto masa kecil Arimbi.

“Puncak rindu itu adalah ketika dua orang tidak saling bertukar kabar, SMS, telepon ataupun berkirim surat, tetapi diam-diam dua-duanya saling mendoakan,”

Pandu tetap diam tak menjawab. Dia sudah lelah meladeni ocehan Bapak paruh baya itu. 

“Masih cinta?”

Pandu kembali hanya diam seribu bahasa, tetapi dalam hati Pandu juga bertanya-tanya. Masihkah ia memiliki cinta untuk Arimbi? Masih bolehkah Pandu mencintainya?

 “Kok diam? Bingung masih cinta apa tidak?”

“Saya tidak tahu,”

“Mencintai begitu rupa, tapi kau tidak tahu kalau yang kamu cintai tidak mencintai kamu,” tambah Bapak paruh baya itu.

“Bagaimana Bapak bisa tahu Arimbi tak mencintaiku?” tanya Pandu dengan nada sedikit tinggi.

“Aku hanya menebaknya saja,” sambil tertawa kecil.

Tiba-tiba bus berhenti di depan sebuah pasar. Banyak orang yang masuk, termasuk tukang asongan dan pengamen yang membuat sesak suasana dalam bus. Bapak paruh baya yang duduk di samping Pandu melambaikan tangan kepada tukang asongan yang menjual tahu sumedang.

“Berapa ini? Kau mau Nak?” tawarnya pada Pandu.

“Tidak usah,” balas Pandu sambil menggelengkan kepala.

“Dua ya, takutnya nanti dia berubah pikiran,” ucap Bapak itu sambil melirik ke arah Pandu seakan memberi kode bahwa orang yang dimaksud adalah Pandu.

“Kau benar tidak mau?” tanya Bapak itu sambil menjulurkan tahu sumedang yang sudah dibuka ujung plastiknya.

“Tidak, terima kasih,” jawab Pandu  masih dengan wajah lesunya.

“Kau mirip temanku,” ucap Bapak itu tiba-tiba.

“Teman Bapak? Tidak mungkin! Aku baru saja mengenal Bapak. Lagi pula wajahku masih muda, tidak mungkin sama dengan teman Bapak yang mungkin seumuran dengan Bapak,” balas Pandu panjang lebar, memberikan pembelaan bahwa Pandu tidak terima jika wajahnya disamakan dengan teman Bapak paruh baya itu yang notebene sudah tua.

“Kau tahu? Temanku itu memiliki kisah cinta yang tragis,” Bapak paruh baya itu mulai bercerita.

Pandu yang kesal wajahnya disamakan dengan teman Bapak paruh baya itu tak menanggapi lagi ucapannya. Pandu mengalihkan pandangan ke luar jendela bus.

“Dia harus merelakan kekasih yang amat ia cintai melebihi apapun di dunia ini. Namun, dia lupa bahwa ada aturan nasib dan takdir  yang di atur oleh Sang Hyang Widhi. Ia menerjang segala tanda-tanda yang telah diberikan oleh Sang Hyang Widhi padanya, jika  hidup bersama kekasihnya bukanlah nasibnya. Namun, mencintai kekasihnya itu adalah takdirnya,” ucap Bapak itu.

Pandu sama sekali tak menggubris ucapan yang dikatakan oleh Bapak paruh baya yang duduk di sampingnya. Namun, Bapak paruh baya itu tetap melanjutkan ceritanya dengan nada santai.

“Dengar Nak! Jika dia hanya akan menjadi duri dalam hatimu, lepaskan saja. Memang  tidak salah memiliki rasa cinta kepada seseorang, tapi apalah daya jika kau yang berjuang membangun istana cintamu sendiri. Bukan karena kau lemah, tapi kau harus menghargai skenario Tuhan,”

Bus kemudian berhenti di salah satu halte.

Tiba-tiba Bapak paruh baya yang duduk di samping Pandu berdiri dengan tas selempang di pundaknya

“Ini untukmu,” ucap Bapak itu sambil menjulurkan tangan kanannya yang menggenggam sesuatu kepada Pandu.

Pandu dengan ragu mengarahkan tangannya tepat di bawah tangan Bapak paruh baya itu dan menerima barang pemberiannya dengan wajah bingung.

“Ini apa?” tanya Pandu.

“Itu kau,” jawab Bapak paruh baya.

Bapak paruh baya itu berjalan ke depan, bersiap untuk turun dari bus. Pandu melihat ke dalam genggaman tangannya, gantungan kunci dengan tokoh wayang Rahwana. Setelah melihat gantungan kunci tersebut, Pandu baru sadar bahwa yang diceritakan Bapak paruh baya tadi adalah kisah cinta tragis antara Rahwana dan Shinta. Pandu baru mengerti bahwa Bapak paruh baya itu  menggambarkan diri Pandu sebagai Rahwana. Selama perjalanan ke Surabaya, Pandu terus memikirkan kata-kata dari Bapak paruh baya itu. Otaknya terus berpikir dan menalar, apakah benar apa yang dikatakan Bapak paruh baya itu bahwa cintanya pada Arimbi sama seperti cinta Rahwana kepada Shinta? Dalam otaknya, Pandu selalu menolak dan menyangkal semua kebenaran yang diucapkan Bapak paruh baya yang duduk di sampingnya tadi. Namun, hati kecilnya setuju dengan hal yang diucapkan Bapak paruh baya itu.

Dalam lembayun senja kemerah-merahan yang dilihatnya di balik jendela bus, Pandu kembali teringat tentang masa indahnya bersama Arimbi yang selalu menikmati senja sempurna keemas-emasan di sore hari yang berakhir dengan keindahan malam bertabur bintang. Namun, Pandu merasa senja hari ini tak akan berakhir seperti dulu. Mulai saat ini, senja akan berakhir dengan keremangan malam yang menyedihkan. Malam yang gelap dan mencekam, bahkan bintang dan bulan sang penguasa malam enggan keluar. Seakan dunia fana ini mendukung suasana hati Pandu yang merintih terobek cinta Arimbi. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan Pandu untuk meneguhkan hatinya.

Seiring dengan perjalanan bus yang menerobos gelapnya malam yang sunyi menuju  gemerlapnya jalanan dengan cahaya yang bermain warna, terkadang bus tersebut melewati gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat. Selama bus berjalan dari Jakarta menuju Surabaya, selama itulah Pandu bergulat dengan pikiran dan hatinya. Sangat sulit untuk menyelaraskan dan menyatukan pikiran dan hatinya pada satu titik yang sempurna.

“Rahwana, inikah yang kau rasakan?” ucap lirih Pandu sambil menghela napas panjang.

“Apa yang harus aku lakukan, Arimb? Haruskah aku menculikmu seperti yang dilakukan Rahwana pada Shinta?” ucap Pandu sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat karena terlalu lama memikirkan masalah yang tak bertepi.

Suara panggilan Sang Maha Agung penguasa jagad yang menggema di langit malam yang mencekam membuyarkan lamunan Pandu pada Arimbi. Bus yang ditumpangi Pandu berhenti di depan masjid untuk memberikan kesempatan pada penumpangnya agar sejenak mengingat Penciptanya. Pandu pun ikut turun dan berjalan menuju masjid bersama penumpang lainnya. Setelah mengambil air wudu, Pandu merasakan sedikit beban berat di pundaknya dan kebuntuan pikiran mulai mereda. Dalam doanya, Pandu memohon agar Tuhan memberikan jawaban tentang masalah yang sedang dihadapinya.

“Tuhan, jika cintaku pada Arimbi terlarang, mengapa Kau membangun istana cinta di hatiku?”

Selesai menjalankan kewajibannya, Pandu dan penumpang lainnya kembali ke dalam bus yang setia mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Di tempat duduk yang sama, Pandu berpikir untuk menulis surat kepada Arimbi. Isi surat itu berbunyi:

Arimbi, mengapa cinta menjadi begitu penting sehingga menggangu kehidupan?

 Ini mungkin karena cintaku yang tak tau diri. Aku menulis surat ini dengan pena dan kertas terakhir yang aku miliki saat aku menuju ke batas penantian. Aku teringat saat kita berada dalam alam yang sama, melihat semburat senja merah keemas-emasan.

Apa kau ingat itu, Arimbi?

Aaaah… mungkin kau tak ingat. Namun, aku selalu ingat saat-saat itu, karena kamu senjaku yang paling sempurna Arimbi….

Aku jatuh cinta padamu, Arimbi.

 Aku tak sadar kapan aku memulainya. Rasa itu semakin lama semakin menguasai hati, pikiran, dan seluruh hidupku, hingga mengacaukan keseimbangan hidup ini. Arimbi, kau harus tau, menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir, dan mungkin ini bukan nasibku untuk menjadi pendamping hidupmu. Namun, ini takdirku untuk mencintaimu, Arimbi, senja sempurnaku…

Cirebon, 2 september 2008

Pandu Rahwanamu

_Septian

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment