Home Cerpen Mawar yang Kita Jaga Tidaklah Sama

Mawar yang Kita Jaga Tidaklah Sama

by admin
0 comment

‘’Besok aku akan pergi ke gereja,’’ ucapnya pelan-pelan.

‘’Ada apa? Tumben,’’

‘’Keluarga dari pihak ayahku meninggal. Lusa juga sepupuku akan menikah di gereja yang sama.’’

‘’Aduh, aku tak tahu harus merespon bagaimana. Awalnya berita duka, sekarang berita bahagia.’’

Dia tertawa kecil, ‘’Kau mau ikut aku ke gereja?’’

‘’Hah? Sembarangan saja, ya tidaklah!’’

‘’Kenapa?’’

Aku menatapnya dengan dongkol. ‘’Masa perlu kujelaskan?’’

‘’Ya jangan bilang dong kalau kamu muslim, apa susahnya?’’

‘’Enak saja. Bisa-bisa aku ibuku menyuruh tidur di teras.’’

‘’Seru dong! Bisa menikmati angin malam dan dinginnya bulan,’’

Aku berdiri dan mengejarnya. Untuk ukuran perempuan larinya lumayang kencang. Hampir lima belas menit berlari di taman bermain itu, dan aku masih tidak bisa menggapai tangannya. Dia hanya tertawa sambil sesekali mengusap keringat yang bercucuran di dahi. Kuajak dia untuk duduk di tikar yang disediakan petugas taman.

Kuambil tisu yang kubawa dalam tas. Perlahan-lahan keringat di dahinya kulap. Dia hanya diam dan memonyongkan bibirnya, sok romantis. Aku hanya tersenyum tipis, diam dan perhatikan saja.

Setelah itu dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aroma parfummya sukses menusuk hidung. Gila, berkeringat begini dia masih harum. Aku sudah seperti ikan asin. Semenit kemudian dia mulai berbicara tentang banyak hal.

Dia bercerita ingin cepat-cepat lulus sarjana. Lalu kerja selama setahun mengumpulkan uang untuk kuliah S2. Rencananya, dia ingin ke Australia atau Jepang. Negara yang selalu dia ingin kunjungi sejak kecil dulu. Dengan mata berbinar, dia berkata hendak memiliki universitas sendiri dan menjadi guru.

Aku ikut bercerita tentang apa yang akan kulakukan ke depannya. Tentang rencana skripsi, pekerjaan, dan keuangan. Dengan agak malu aku berkata aku mau jadi dosen juga, tapi dosen di universitas luas negeri. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang kucing kampus, deodoran kating yang tertinggal di kelas, tukang bakso yang selalu memberi harga mahal, cara mencegah cinlok saat KKN, hingga dosen kampus yang menyebalkan.

Tanpa kusadari, waktu semakin berjalan. Dia menarik kepalanya dari bahuku. Anting salibnya berkilau tipis karena terkena cahaya matahari. Kini dia duduk di hadapanku. Kami saling berhadapan.

‘’Jadi, ada apa? Tumben mengajak kesini.’’ Dia membuka pembicaraan.

Suara burung pipit yang beterbangan membuat kepalaku agak pusing. Otakku menjerit, menyuruhku mengungkapkan segalanya sekarang. Untuk sejenak, aku tidak bisa mengendalikan diri. Ayolah, sekarang saatnya, nuraniku berbisik pelan.

‘’Ada sesuatu yang harus aku, eh tidak. Sesuatu yang harus segera kita bicarakan,’’ ucapku.

‘’Apa?’’ dia bertanya.

Aku menarik nafas panjang, oke inilah saatnya. ‘’Sebaiknya, kita akhiri semua ini.’’

Aneh, burung pipit yang tadi beterbangan tak lagi terdengar suaranya. Kemudian kutatap matanya. Dan saat itulah, kulihat sepasang mata dari orang yang kusayangi sedang merana.

‘’Maksudmu?’’ suaranya sedikit bergetar. Mungkin menahan tangis.

‘’Kau tentu sudah paham maksudku,’’ aku menunduk, ‘’mari akhiri cerita kita.’’

‘’Tapi kenapa?’’

Lidahku kelu. Pembicaraan yang kuharapkan berhasil tadi malam, agaknya akan susah. ‘’Kita terlalu berbeda….’’

‘’Apanya?! Bicara yang benar!’’ kali ini, dia marah.

Aku mendekat dan memeluknya. Lalu kurasakan kaosku basah akan sesuatu. Ternyata itu adalah air matanya. Dia menangis, kencang sekali. Anting salibnya bergoyang ditiup angin. Kaosku terasa hangan dan semakin lembap.

‘’Aku menyayangimu, lebih dari diriku sendiri. Kita sama dalam semua hal, kecuali apa yang kita percayai,’’ bisikku. ‘’Mengertilah, sebelum kau dan aku melampaui batas.’’ Lanjutku.

‘’Jika memang begini akhirnya, mengapa kita harus memulai?’’ tanyanya masih dengan isak tangis.

‘’Bukankah kau yang bilang bahwa Tuhan selalu punya rencana indah?’’

Kini tangisannya semakin kencang. Burung-burung pipit mulai bersembunyi, mungkin takut mendengarkan percakapan kami berdua.

Dia mengusap air matanya. Sebelum dia bicara, aku berkata lagi,

‘’Besok saat ke gereja, katakan kepada Tuhanmu bahwa aku bersyukur bertemu kamu dan memiliki kesempatan mencintai salah satu hamba-Nya.’’

Sekarang dia menatapku. Kini dia mengangguk pelan. Dia sudah paham, paham apa yang kumaksud dan apa yang kami berdua harapkan. Hujan di matanya malah semakin deras. Aroma parfumnya perlahan mulai menghilang. Udara terasa hangat dan kicauan burung kembali memenuhi telinga. Kupeluk dia lagi dan berbisik lirih,

‘’Mawar yang kita jaga berbeda, dan aku tak mau kau mencabut akar mawarmu demi berada di dalam satu pot yang sama denganku.’’

Guntur_

Sumber Foto: Google

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment