Kebebasan mengemukakan pendapat merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia, dengan adanya kebebasan berpendapat eksistensi manusia berarti diakui keberadaannya. Di negara Indonesia, kebebasan berpendapat diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 lebih detailnya diatur dalam pasal 28E ayat 3.
Dalam hal ini negara menjamin hak dasar warganya untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagai bentuk pencerminan dari sistem pemerintahan yang demokratis. Kebebasan berpendapat dalam lingkungan kampus atau ranah perkuliahan sudah ditekankan sejak awal masuk kuliah seperti mahasiswa lebih ditekankan untuk berani berpendapat pada saat kelas ataupun dalam diskusi diskusi keademikan.
Dalam hal ini kebebasan berpendapat mampu memacu kreativitas seseorang untuk dapat lebih mengolah pikirannya atau mendorong seseorang untuk berpikir kritis dalam segala aspek.
Pada setiap sesi perkuliahan mahasiswa dipacu untuk terlebih dahulu tidak takut pada saat mengemukakan pendapat di depan umum, bahkan kebenaranian mahasiswa dalam berpendapat saja diatur pada rancangan pembelajaran semester (RPS) sebagai nilai keaktifan dan sebagai suatu aspek yang bakal selalu ada didalamnya. Kebebasan berpendapat dalam hal ini benar-benar didukung.
Melihat realitas yang terjadi sekarang mengenai keberadaan kebebasan berpendapat itu sendiri sangat miris.
Beberapa aksi yang didasari oleh pemikiran kritis justru tidak jarang mendapatkan perilaku represif dan diskriminatif dari pihak-pihak yang bersangkutan, contohnya LPM LINTAS yang mendapat pembredelan dikarenakan tulisannya yang mengangkat tentang kekerasan seksual di kampusnya atau beberapa aksi mahasiswa yang bertujuan mengawal kasus Menwa di salah satu Universitas di Jawa Tengah yang dilandasi oleh rasa kemanusian dan pemikiran logis berakhir pada ancaman drop out (DO) atau akan mempengaruhi akademik.
Aneh saja, pada saat mahasiswa diajarkan untuk berani berpendapat di muka umum agar lebih kritis justru mendapat perlakuan yang lebih kepada pembungkaman bukannya seharusnya didukung dan wadahi.
Seakan seperti suatu hal sia-sia, setelah diajarkan untuk berani berpendapat tapi justru mendapat tekanan, padahal didalam undang-undang saja ranah ini sudah diatur jelas dan bahkan dilindungi. Atau apakah sebenarnya kebebasan berpendapat itu boleh akan tetapi bukan ditujukan untuk para pemegang kekuasaan, kalau begitu lalu apa bedanya era reformasi ini dengan era orde baru dulu.
Janggalnya lagi terdapat suatu organisasi yang berfungsi sebagai fungsi kontrol dari setiap kebijakan yang hadir didalam lingkungan kampus malah justru dibekukan dan terancam dibubarkan, padahal secara fisik menghasilkan karya dalam bentuk tulisan kritis.
Anehnya, terdapat suatu organisasi yang telah memakan korban jiwa dan jelas-jelas melanggar aturan yang ada serta dipertanyakan keberadaan dan fungsinya malahan tetap dipertahankan lalu hanya berganti nama saja. Meskipun disadari setiap kebijakan yang berada di kampus x dan di kampus y berbeda-beda, tapi tetap aneh saja.
“Baca Bukan Brendel”
Pembatasan dalam mengemukakan pendapat bukan menjadi solusi untuk tetap menjaga nama baik suatu instansi layaknya kampus, justru dengan memberikan wadah dan ruang-ruang diskusi terbuka atau menyediakan forum dialog antar mahasiswa dengan yang bersangkutan malahan akan membentuk suatu iklim demokratis yang partisipatif dan kreatif untuk lebih mengasah pola pikir yang kritis.
Perlu disadari kebebasan berpendapat dan mengkritisi segala permasalahan di dalamnya tidak akan mencoreng nama baik kampus, tapi tindakan represif dan diskriminatif yang justru membentuk citra tidak tidak ramah demokrasi dalam kampus.
Ammar_
Sumber Foto : Google