Beberapa hari yang lalu saya telah menuntaskan tugas mata kuliah magang. Tugas itu mewajibkan mahasiswa untuk mengobservasi guru di sebuah sekolah. Maklumlah, sebagai mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan kami dituntut memahami aspek-aspek yang harus dimiliki seorang guru seperti kompetensi pedagogik, sosial dan sebagainya. Kelompok magang kami akhirnya menjatuhkan pilihan untuk magang di Sekolah Menengah Kejuruan di Surakarta.
Saat kami memasuki ruang kelas, yang kami temui hanya siswa laki-laki. Tia, guru yang memandu observasi mengatakan bahwa siswa perempuan sedang ada kegiatan lain di aula.
Bu Tia memperkenalkan kelompok kami di depan kelas. Tetapi siswa menanggapinya dengan lelucon. Lalu kami dipersilakan duduk, mulailah Bu Tia mengajar di depan kelas. Materi yang diajarkan hari itu adalah tentang anekdot. Lalu Bu Tia memberikan tugas kepada siswanya untuk membuat anekdot. Namun terjadi sedikit perdebatan menyoal permasalahan anak didik di kelas tersebut.
“Lha kami nggak punya wali kelas bu, ya nanti kami nggak bisa naik kelas” ucap salah satu siswa. Namun Bu Tia menimpali ketus, “ya jelas, wong nggak ada guru yang betah sama kalian, kenakalan kalian sudah keterlaluan kok.” Kondisi itu kelas kacau. Siswa berjalan kesana kemari, padahal ada guru di dalam kelas tersebut.
“Aldo! Kembali ke tempat duduk dan kerjakan tugasmu!” bentaku Tia “udah kok bu, udah saya kerjakan. Lha ibu ngasih tugas banyak banget kok!” Timpal Aldo.
Nakalisme
Banyak pihak yang mengatakan bahwa siswa kelas ini adalah siswa terbandel dan sulit dikendalikan. Asumsi saya, mereka bukanlah siswa yang nakal. Anak-anak seperti mereka adalah anak yang memiliki keaktifan berlebih. mereka sebenarnya adalah anak yang kritis, hanya saja perlu diarahkan bagaimana cara yang benar dalam menyampaikan gagasan. Terlebih ketika harus berbicara dengan orang yang lebih tua.
salah satu faktor anak didik melakukan tindakan tersebut bisa disebabkan karena sistem Full day school yang diterapkan pemerintah saat ini.sistem yang mewajibkan para siswanya mengikuti jam pelajaran hingga sore bahkan petang, mengakibatkan mereka mudah penat dan bosan. Mereka seperti kehilangan waktu untuk bermain bersama teman sepergaulannya. Seperti memerangkap anak didik dalam tekanan yang hanya fokus pada pelajaran, tidak memperhatikan pendidikan karakter dan anak didik sebagai makhluk sosial.
Coba tengok konsep pendidikan yang ditawarkan Tan Malaka, beberapa konsep kiranya cocok diterapkan di Indonesia. Yakni anak-anak diberikan kesempatan menyampaikan pemikiran dengan sistem bertukar pikiran, sehingga terjalin kerjasama antar peserta didik. Tan Malaka juga menjelaskan bahwa pendidikan harus memperhatikan perkembangan kondisi kejiwaan anak. Bahwa anak didik tak boleh tercerabut masa yang seharusnya mereka alami, yaitu kesukaan bergaul dengan teman sepergaulan. Setidaknya terdapat tiga prinsip pendidikan yang dipegang, yakni pendidikan sebagai bekal hidup, pendidikan sebagai pergaulan hidup dan pengabdian kepada rakyat. Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan – Tan Malaka.
Pinky Annisa