Ini bukan dongeng. Bukan pula sulap dan sihir. Kampung itu ada di pusat kota, bersemayam di sudut kota. Kampung itu mengancam masyarakat, menebarkan bau busuk kebohongan. Rumahmu mungkin termasuk incarannya.
Di tahun-tahun penuh kepalsuan, hidup seorang pemuda yang memiliki satu kelemahan. Pemuda itu mudah ditipu. Berkali-kali seseorang datang meminta bantuannya lantas setelahnya ia ditinggalkan. Setiap kali dia ditinggalkan, ada amarah menggebu-gebu menghimpitnya. Sebab, ia selalu ditipu oleh oknum yang sama. Mungkin jika sekali dua kali dia memaklumi, tapi sekarang ia sudah lupa ada berapa orang yang mengatakan, “Untuk rakyat dari Bos,”
Setelah ia menelan kebohongan berkali-kali, ia berperan layaknya Robinhood yang termasyhur itu. Dia bertekad akan menolong teman-temannya dari apa pun masalah yang berhubungan dengan orang-orang yang sudah menipunya yang melabelkan diri sebagai orang yang punya kuasa.
Jadi, ia bertekad akan menolong teman-temannya dari tiupan omong kosong perkataan yang mengatakan atas nama rakyat.
Ah, aku lupa. Dia menolong dengan menyimpan dendam. Tahu dengan cara apa dia membalas dendam dengan orang-orang sialan yang sudah menipu semua orang? Dia mencuri.
“Dia mencuri lagi,” seseorang berujar, membuyarkan pikiranku yang bermain sejak tadi.
Ditemani sebatang rokok terselip di bibir, aku bisa menangkap suara-suara di warung kopi. Asap-asap rokok dan kopi yang mengepul menjadi saksi obrolan malam ini. Para pemuda yang bosan dan ingin melepas lelah sibuk bergosip untuk menghabiskan malam. Ternyata bukan hanya para wanita yang senang bergosip, lelaki pun senang melakukannya.
“Oh?” Seorang bapak menyeruput kopinya sebelum berujar, “Apa ada yang tertipu lagi?”
Tawa-tawa hambar keluar menghiasi malam yang dingin dengan seseorang menceletuk, “Ditipu menjadi makanan sehari-hari kami, bukan?”
“Ditipu oleh siapa?,” tanyaku dan berharap mendapatkan jawaban lain. Namun saat satu nama yang keluar, aku tak bisa melakukan apa pun selain membuang napas kasar.
“Tentu saja bapak buncit,” jawab seorang pemuda, dan yang lain hanya terkekeh mendengar nama itu.
“Bapak buncit yang kusayangi, kenapa dia tidak pernah kapok berhubungan dengan Robinhood Palsu?”
Robinhood palsu.
Kami menyebutnya begitu karena ia yang sering ditipu oleh bapak buncit. Semua orang di kampung ini paham, Robinhood palsu adalah salah satu orang kepercayaan bapak buncit, tapi ia pulalah yang selama ini sering mencuri barang berharga bapak buncit.
Robinhood palsu selalu melakukan itu tiap kali bapak buncit bergesekan dengan rakyat yang ia sebut sebagai teman-temannya. Urusan bapak buncit selalu saja merugikan rakyat dan Robinhood palsu selalu ingin mencuri jika itu terjadi.
Robinhood Palsu itu, ia mudah ditipu oleh bapak buncit dan antek-anteknya karena Robinhood palsu senang menolong dan dialah sendiri yang tertipu dengan omongan bapak buncit.
“Kalau sekali ini saja kau menolongku, aku janji tak akan berdusta lagi.”
Namun hingga Robinhood palsu sering menolong dan sering pula tertipu, akhirnya paham bahwa ia adalah korban juga.
“Bapak buncit itu pasti sudah tahu kelakuan Robinhood palsu, bukan?” tanya seseorang yang menggigil. “Lalu kenapa ia masih membiarkannya mencuri?”
“Mungkin dia akan membunuhnya lain kali,” ujar seseorang dengan tawa-tawa hambar bersahutan di ujung malam.
Aku hanya tertawa dan mengucapkan sederet kalimat, “Lain kali, aku tidak akan mencuri barang berharganya lagi. Nanti, aku akan mencuri nyawanya saja.”
Dan para bapak dan pemuda yang ada di warung kopi itu menganga dan terdiam. Mereka semua tidak percaya bahwa pemuda dengan sebatang rokok yang terselip di jari tangan dan asap-asap yang keluar dari mulutnya sambil sesekali menyeruput kopi adalah Robinhood palsu yang dari tadi mereka bicarakan.
“Nanti, aku akan mencuri nyawanya saja.” ucapku sekali lagi, “Mencuri nyawa bapak buncit yang senang menipu rakyatnya.”
Faridatul Mardhiyyah