Silek memandangi selembar kertas ulangannya yang sudah lecek. Di atas kertas tersebut tertulis angka tiga puluh yang dilingkari pena merah. Kini pandangan Silek terpaku pada sebuah gubuk dari jarak seratus meter yang atapnya mengepul asap putih. Silek berjalan pelan sambil menggenggam kertas dengan senyum lebar. Ia mendorong perlahan pintu dari kayu yang sudah lapuk hingga menimbulkan suara berdecit.
“Assalamualaikum,” ucap Silek ketika melangkah masuk.
Tak ada jawaban. Silek pun langsung berjalan menuju ke dapur. Didapatinya seorang ibu tua tengah sibuk meniup-niup tungku dengan bambu untuk memasak makan malam mereka. Silek langsung meletakkan tas lusuhnya ke sebuah bangku dan langsung berjongkok di samping ibunya.
“Bu, Silek dapat nilai tiga puluh ujian tadi.”
Ibu Silek hanya tersenyum, lalu memandang Silek dan mengusap kepalanya. Lalu Silek pun membantu ibunya menjaga nyala api agar tetap besar, sedangkan ibunya kini ganti menangani sebuah panci besar berisi rebusan sayuran yang dipanen di belakang rumah. Makan malam mereka terasa sunyi, hanya terdengar suara kunyahan dan sendok yang beradu dengan piring kaca. Silek meraih segelas air putih di atas meja, ia meneguknya perlahan.
“Bu, Silek mau jadi guru.”
Ibu Silek tersenyum, “kalau begitu, anak ibu harus banyak makan,” ucapnya yang langsung mencentong nasi dari periuknya lalu menuangkannya ke piring Silek.
Keesokan harinya, saat matahari belum sepenuhnya terbit, Silek sudah bersiap dengan sepatu lusuh dan seragam putihnya yang mulai menguning. Sembari menggendong tas lusuh yang sudah berlubang, Silek berpamitan.
“Bu, Silek berangkat dulu,” ucap Silek yang mencium tangan ibunya.
“Iya nak, belajar yang rajin. Perhatikan gurumu,” jawab Ibu Silek sembari mencium kening anaknya.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Silek pun berjalan menuju sekolahnya yang berada di desa terdekat dari rumahnya. Meskipun jarak dari rumah Silek ke desa terdekat tidaklah sedekat desa-desa pada umumnya. Namun Silek selalu saja bahagia bila berjalan melewatinya. Dibayangkannya itu adalah jalan paling indah di seluruh dunia. Dari jalan itu, ia menuju sekolah, tempat ia belajar dan bertemu dengan teman-teman sebayanya. Lalu sore harinya di mana ia akan melewati jalan itu lagi, ia akan berjumpa gubuk kecil di tepi hutan dengan aroma masakan ibunya. Namun, Silek harus menempuh jarak lebih dari delapan kilometer menyusuri jalan setapak. Jarak yang sangat jauh untuk ditempuh seorang anak yang baru duduk di bangku sekolah dasar. Butuh waktu lebih dari tiga jam untuknya bisa sampai ke sekolah.
Sudah pukul tujuh lebih saat Silek sampai di depan bangunan sekolahnya.
Sebuah sekolah sederhana. Berdidingkan anyaman bambu dan beratap seng yang saat siang terasa panas bagi siapapun yang ada di dalamnya. Ia kini berjalan perlahan menuju bangunan itu. Di mana telah ramai teman-temannya yang sedang bermain dan berbicara di bangku mereka masing-masing. Silek melangkahkan kaki mungilnya melewati deretan tempat duduk sembari tersenyum kepada setiap wajah dari teman-temannya. Meskipun hanya dibalas tatapan sinis, Silek tetap saja mencoba ramah kepada mereka. Hal itulah yang selalu diajarkan ibunya kepadanya. Kata-kata yang selalu menjadi patokan Silek untuk bersikap terhadap orang lain.
“Usah hiraukan sikap orang lain terhadap kita, nak. Seberapa jahat pun mereka terhadap kita, sekejam apa pun perbuatan mereka terhadap kita, biarkan Tuhan yang membalas. Kita sebagai manusia hanya harus bersikap baik. Yang terpenting adalah sikap kita terhadap mereka, bukan apa yang kita harapkan dari mereka.”
Meski pun butuh waktu cukup lama bagi Silek untuk memahami kata-kata tersebut hingga akhirnya ia paham pada suatu ketika saat ia membantu seorang kakek yang tersesat di hutan dekat rumahnya untuk pulang. Silek diberi imbalan berupa buah kelapa. Dari situ ia paham, bahwa jika ia melakukan hal yang baik, maka ia akan mendapatkan hal baik pula sebagai balasannya.
Silek duduk di bangku paling belakang, dengan tangan yang melipat di atas meja dan senyum yang tersaji lebar. Siap menanti guru siapapun yang masuk hari ini.
Seorang guru dengan pakaian necis melangkah masuk ruangan yang gaduh. Dengan menenteng beberapa buku yang kemudian ia letakkan di atas meja, seketika kelas yang gaduh langsung sunyi. Guru itu kini mulai berbicara dan menjelaskan materi belajar mereka sekarang, matematika. Sebuah mata pelajaran yang sudah tentu pasti dibenci oleh semua murid di dunia.
Di tengah-tengah pelajaran, Silek mengangkat tangannya dan langsung berbicara dengan lantang.
“Pak guru! Saya mau jadi guru!”
Riuh tawa kelas pun pecah mendengar ucapan Silek. Sang guru pun ikut tertawa.
“Silek, Silek. Nilai ulanganmu saja tiga puluh. Mau jadi guru apa kamu!” ucap sang guru.
Sebuah ucapan yang sudah tentu pasti membunuh impian Silek. Namun Silek hanya tersenyum dan kemudian duduk masih dengan senyum yang merekah. Semangatnya tak luntur.
Pelajaran pun berakhir dan sang guru berpamitan lalu melangkah keluar sembari menenteng tumpukkan buku.
Sebelum keluar, guru itu berkata, “hey, Silek! Kamu jadi petani saja seperti orang tuamu. Jadi guru itu haruslah orang pandai.”
Silek hanya tersenyum mendengar kata-kata itu.
Kemudian guru selanjutnya masuk dan gantian menjelaskan pelajaran mereka selanjutnya. Hal yang sama, di tengah-tengah pelajaran, Silek berdiri sambil mengacungkan tangannya.
“Pak guru! Silek mau jadi guru!”
Kembali riuh tawa pecah, kali ini diiringi cemooh dari teman-teman Silek. Sang guru pun ikut tertawa pula.
“Aduh Silek, kau ini. Belajar dulu yang benar. Ulanganmu kemarin itu jelek sekali. Orang bodoh mau mengajarkan apa?” ucap sang guru.
Kembali, kata-kata yang tidak mengenakan didengar Silek. Namun Silek kembali acuh. Ia kembali duduk masih dengan senyum yang sama.
Kemudian guru itu selesai mengajar dan berpamitan lalu meninggalkan kelas. Kelas kembali riuh, hingga guru ketiga masuk dengan senyuman. Ia menjelaskan pelajaran selanjutnya. Dan kembali, Silek berdiri lalu berbicara dengan lantang.
“Pak guru! Silek mau jadi guru!”
Kini bukan lagi tawa, melainkan riuh cemooh yang menyambut Silek.
“Sudahlah Silek, kau ini. Orang bodoh macam kau ini bisa jadi apa?”
Begitulah kiranya ucapan teman-temannya. Namun Silek masih saja tersenyum.
Sang guru hanya tersenyum. “Kalau begitu, pak guru tunggu kamu mengajar sama bapak.”
Silek kini semakin melebarkan senyumnya dan kembali duduk. Silek memperhatikan setiap kata dan setiap tingkah laku gurunya. Meskipun sebenarnya ia sama sekali tak mengerti materi apa yang diajarkan oleh gurunya. Ia hanya senang dengan jawaban gurunya tadi.
Lalu setelah pelajaran selesai, sang guru tersebut mengajak Silek untuk berbicara di luar kelas. Mereka duduk bersebelahan di atas batu-batu yang tersusun rapi mengelilingi gedung sekolahan.
“Silek, kamu tahu? Bapak juga dari dulu bercita-cita menjadi guru. Bapak juga dari kampung seperti kamu dan teman-temanmu itu. Bapak juga tidak hidup mewah. Orang tua bapak meninggal saat bapak masih SMP.”
Silek memperhatikan wajah gurunya itu saat ia berbicara.
“Tapi bapak tidak pernah menyerah dengan impian bapak itu.” Sang guru berhenti bicara sejenak dan menarik nafas panjang lalu memegang kepala Silek. “Wujudkan impian mulia Silek itu, bukan untuk Silek seorang saja. Tetapi untuk Ibu Silek juga. Untuk teman-teman Silek juga. Untuk anak-anak yang nantinya akan Silek ajar. Kita ini manusia, yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat baik, Silek.”
Silek tersenyum.
Ade Prasetyo Aji
Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Sebelas Maret