Home Cerpen Duka di Ujung Surat Wasiat

Duka di Ujung Surat Wasiat

by admin
0 comment

Bara Nugra Bahtiar. Kalian bisa memanggilku Bara. Pemuda asal Sukabumi yang merantau ke Jakarta karena tuntutan surat wasiat orang tua. Orang Tuaku sungguh sempurna. Mereka mati dengan menjamin kehidupan anaknya. Bahkan, Aku sudah disiapkan calon istri dari ibu kota. Anak dari kerabat lama Ayahku katanya. Sungguh sial nasibku. Harus kutinggalkan Dek Lina demi wanita yang entah seperti apa bentuknya.

Lima  bulan sudah aku membual kepada kekasihku di sana. Aku janjikan bahwa aku akan ke Jakarta untuk memusnahkan tujuan dari isi surat wasiat itu. Wanita itu bernama Nadifa. Aku diperintah olehnya untuk memanggilnya dengan sebutan Difa. Wanita yang memiliki selisih umur 3 tahun di bawahku. Masih lebih muda setahun dari Dek Lina. Nasibnya lebih malang dariku ternyata. Ayah dan ibunya sudah meninggal 6 tahun yang lalu, tepat saat usianya 18 tahun. Ternyata dia menunggu kedatanganku. Tapi sayangnya aku datang juga dalam keadaan yatim piatu, sama sepertinya.

Tepat hari ini aku akan mengecek lokasi  untuk acara  foto sebelum pernikahan, atau orang sering menyebutnya dengan  prewedding. Singkat memang, hanya perlu hitungan bulan kami sudah memutuskan untuk menikah. Lebih tepatnya aku yang meminta untuk mempercepat isi wasiat itu. Bukan tanpa alasan. Aku hanya tak ingin Dek Lina menunggu lebih lama di sana. Isi surat wasiat itu harus segera dimusnahkan dengan satu-satunya cara yang dituliskan di sana.

“Kang, Kang Bara yakin membuat foto kita di hutan? Kenapa kita tidak menyewa taman atau replika hutan saja? Lebih mudah dan keamanannya juga terjamin” katanya di tengah perjalanan kami

“Kita sudah sepakat kan Dif. Aku sudah mengurus semuanya. Selain itu, akan lebih terlihat natural kalau kita benar-benar menggunakan alam. Apa kamu masih merisaukan orang yang akhir-akhir ini menerormu itu?” balasku menjelaskan

“Tiga hari lalu dia memecahkan kaca mobilku sewaktu aku pulang kerja tengah malam. Dua hari yang lalu dia merusak cermin di kamarku dengan polesan darah yang bertuliskan “Harus Musnah”. Dan kamu tahu? Minggu lalu dia mengirimi aku surat kaleng yang bertuliskan “Kamu harus dimusnahkan!”. Apa salah kalau aku tidak ingin mengambil risiko dengan pergi ke tempat yang berpotensi ada dia di sana?”

“Apa kamu akan mengurung dirimu dalam ketakutan seperti ini? Kamu itu hidup, kamu bekerja, kamu beraktivitas. Lalu apa rencana kamu dengan ketakutan itu?” tukasku

“Tunggu sampai aku bisa menemukan orang itu. Kang, aku ini pebisnis, mendiang orang tuaku juga. Bukan hal tabu kalau aku memiliki musuh dimana-mana. Tapi, tidak ada psikopat yang menerorku sampai seperti ini. Aku takut Kang.” Keluhnya

Aku menghentikan mobilnya sejenak. Aku genggam tangannya erat, dan memberikan sorot mata bahwa semua akan baik-baik saja selama aku masih bersamanya. Iya, setidaknya aku janjikan itu meski entah apa yang akan aku lakukan dan terjadi selanjutnya. Dia membalas genggaman tanganku dengan setitik air mata yang meluncur dari kedua mata sendunya.

Kurang lebih 2 jam kami menempuh perjalanan ke lokasi ini. Tidak ku sangka tempatnya sepi. Sungguh sempurna untuk melakukan itu sekarang juga. Dia tidak akan memberontak atau melarikan diri. Tidak ada alasan telepon yang berdering, ia tidak akan menelepon atau ada meeting penting tiba-tiba. Di sini bahkan tidak ada sinyal sama sekali.

Aku sudah menepikan mobil dan membawa kami ke titik terbaik di hutan ini. Bukan hutan belantara memang, tapi setidaknya ini tempat yang tepat untuk menyelesaikan benda sakral bernama surat wasiat.

“Cuma ada kita yang cek lokasi Kang? Setidaknya fotografer harus tahu situasi untuk pemotretan kita kan” tanyanya di tengah perjalanan

“Ee.. itu Dif. Mmm nanti biar aku saja yang membawanya ke sini Dif. Itu… apa.. Mmm anu fotografernya ada agenda lain, jadi takutnya dia buru-buru ke sininya. Jadi nanti biar Akang saja yang mengajaknya ya.” Aku berusaha mencari alasan yang masuk akal untuk menjawab pertanyaannya

“Ohh gitu ya Kang” Difa bukan wanita polos apalagi bodoh. Dia berpendidikan. Selain itu, dia juga direktur dari perusahaan peninggalan orang tuanya. Sangat jauh dari wanita kolot yang mudah dibohongi oleh jawaban seperti yang aku lontarkan.

Kami sudah berada di tempat yang kurencanakan. Titik agak dalam dari hutan ini. Aku berhenti di sampingnya. Membuat Difa juga melakukan hal yang sama.

“Ini tempatnya Kang?” tanya Difa memutar matanya seakan tak mengira tempat seperti ini yang aku pilihkan

“Dif. Aku langsung saja ke tujuanku mengajakmu kemari.”

“Maksud Kang Bara?” Ia bingung. Matanya memandangku dengan tanya yang akan segera kuberi jawabannya

“Kamu sudah membaca surat wasiat mendiang orang tuaku kan?”

“dan orang tuaku juga sudah mengatakan agar aku menyetujui wasiat itu” ucapnya yang bagiku cukup cerdas

Aku dekatkan tubuhku padanya. Kulihat dia gemetar. Bagaimanapun juga aku adalah orang asing baginya terlepas dari hubungan kami yang sebenarnya. Aku tidak perlu mengulur waktu atau menunda-nunda lagi. Ada Dek Lina yang sudah menunggu hasil dari keputusanku ini. Entah ini jahat atau apapun itu, aku tidak peduli. Karena aku hanya mencintai Dek Lina, kekasihku.

“Harusnya kamu sudah tahu, hal apa yang harus dilakukan untuk menghentikan surat wasiat itu bukan?” tanyaku agak menajam

“Apa kamu yakin? Aku tidak mungkin melakukan itu padamu Kang. Apa, kamu yang akan melakukannya?” Ia menatapku dengan pancaran sendu. Entah mengapa, aku merasakan ketulusan dari pancarannya.

“Aku sudah memiliki kekasih di Sukabumi. Namanya Lina. Aku tidak bisa mencintai kamu Dif. Aku rasa, kamu juga merasakan hal yang sama”

“Kamu salah! Aku mencintaimu Kang. Selain itu, aku juga  tidak mungkin mengingkari janjiku pada ayah dan Ibu”

“Kamu hanya tidak mau kehilangan kekayaan dari orang tuamu Dif!”

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Difa

Aku sudah mengeluarkan pisau lipat kecil dari saku celanaku. Kulihat tubuh Difa gemetar. Matanya berkaca seakan menahan air dari matanya agar tak terjun saat ini juga. Aku tahu ini jahat.

“Aku harus menghentikan semua ini. Maaf jika melukaimu. Aku hanya akan menikahi orang yang aku cintai, dan orang itu bukan kamu. Maafkan aku Nadifa. Aku  hargai perasaanmu. Tapi maaf, tidak untuk cinta kita” Aku persempit jarak antara kami. Sudah ku keluarkan pula surat wasiat itu. Benda konyol yang membuatku harus melukai seseorang, atau mungkin menjadi alasan sebuah kematian.

“Kang Bara. Kamu tahu akan menjalani hidup seperti apa setelah ini? Kamu akan kehilangan semuanya. Pikirkan lagi Kang. Aku sudah terluka karena ucapanmu. Tolong jangan lukai lagi aku dengan pisau yang kau genggam itu”

Aku sudah mengarahkan ujung pisau itu padanya. Ini jahat! Aku bahkan telah mengutuk diriku sendiri. Ayahku, ibuku, keluargaku, ayahnya, ibunya, dan keluarganya mungkin sedang mengutuk diriku juga. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin menghentikan pernikahanku dengan Difa. Aku akan melakukannya sekarang juga.

“Maafkan Kang Bara, Nadifa” aku memajukan kakiku satu langkah mendekatinya perlahan.

“A…Aaa… aaa. Kang!!!!”  rintih Difa memegang perutnya yang sudah mengeluarkan darah segar.

“Dek Lina!!!”aku menjatuhkan pisau dan surat wasiat yang ku pegang sedari tadi.

Difa sudah sangat lemas. Aku memapah tubuhnya yang sudah hampir kaku itu, lalu kurebahkan di atas tanah

“Apa yang kamu lakukan???!!!!” teriakku pada sosok yang mengenakan pakaian serba hitam itu. Dia adalah kekasihku, Dek Lina

“Aku sudah memusnahkannya Kang, sesuai rencana kita” dia tersenyum padaku. Senyum yang kuanggap kegilaan semata

“Rencana? Rencana iblis mana yang ada di pikiranmu?!” teriakku lebih keras

“Dia cantik, baik, pintar, kaya, dan dia mencintai Akang. Lalu? Jaminan apa yang akan Akang berikan ke Lina bahwa Akang tidak akan mencintainya?” Balasnya menatapku dengan sorotan yang bagiku, terlihat mengerikan.

“Tapi bukan dengan membunuhnya Lina!!! Aku hanya membutuhkan sedikit darahnya saja untuk mengesahkan pembatalan surat wasiat itu. Setelahnya aku juga akan memberikan sedikit darahku, lalu menandatanginya, maka aku berhak untuk membatalkan pernikahan itu dengan memberikan seluruh kekayaanku padanya. Setelah itu, aku akan kembali padamu Na, dan kita akan menikah. Hanya itu! Sama sekali bukan dengan menghabisi nyawanya!”

“Aku baca surat wasiat itu ketika kamu lupa meninggalkannya di atas meja kamarmu. Aku tak peduli jika harus hidup melarat tanpa harta denganmu. Tapi, aku tidak akan tenang selama wanita itu masih berada dalam dunia yang sama. Dan karena aku tahu, kematian bukanlah satu-satunya cara untuk menghentikan pernikahan kalian, maka akulah yang harus membuat kematian itu”

“Kamu bodoh Lina! Kamu bodoh! Kamu pembunuh!!! Kita tidak akan menikah dengan statusmu sebagai tersangka pembunuhan”

“Aku hanya tinggal membakar pisau itu Kang. Dan Akang bisa bersaksi bahwa dia ditusuk oleh orang yang menerornya akhir-akhir ini. Bukankah itu masuk akal?” Ucapnya dengan senyuman yang membuatku ingin menyusul Difa saat itu juga

“Jangan katakan bahwa kamu yang selama ini menerornya!” aku harap, itu bukanlah suatu pertanyaan yang layak aku tanyakan

“Aku sangat mencintaimu Kang.” Jawabnya menatapku sendu

Aku benar-benar merasa terkutuk karena ucapannya. Aku ambil pisau yang masih menancap di tubuh Difa. Aku pegang pisau itu dengan sangat erat.

“Kang Bara! Sidik jarimu akan tertinggal di sana! Cepat bakar pisau itu sekarang juga” gertaknya padaku

“Aku tidak mungkin membiarkanmu menjadi tersangka pembunuhan. Bagaimanapun, harus ada pembunuh dalam kasus kematiannya. Kamu bukan orang jenius yang bisa bersembunyi hanya karena tanpa barang bukti. Pergilah! Lanjutkan hidupmu! Aku yang akan jadi pembunuhnya” kataku datar dengan intonasi setenang mungkin

“Tidak Kang!!!” Dek Lina mengacungkan ujung pisau itu tepat di dadanya. Membuatku panik dan mencoba melepas peganganku.

“Apa yang akan kamu lakukan?!” bentakku

“ Bakar pisau itu sekarang juga. Pergi cari bantuan dan berikan kesaksian seperti yang Lina minta. Lalu, Lina akan pergi dari sini. Itu mau Lina Kang. Jika Akang tidak mau melakukannya, Lina akan biarkan Akang mendekam di penjara karena telah membunuh dua wanita.” Tukasnya

“Jangan lebih bodoh dari ini Lina!” gertakku lebih keras padanya. Berharap ia segera sadar dari kegilaannya saat ini

“Jadi? Akang tidak mau melakukan apa yang Lina mau?” tanyanya lirih, masih menggenggam tanganku yang memegang pisau dengan lumuran darah yang masih sangat segar

“Lina! Serahkan diri kamu ke polisi. Akui semua perbuatanmu. Aku bersumpah! Aku akan menunggu hingga kamu bebas. Setelah itu, kita wujudkan impian kita” terangku dengan begitu tenang

“Kita tidak pernah bermimpi untuk menikah setelah Lina jadi narapidana kan Kang? Lalu, impian apa yang Akang maksud? Lina tanya sekali lagi. Akang mau kan melakukan apa yang Lina mau? Kita akan bahagia Kang. Setelah ini, semua akan baik-baik saja.” Balasnya dengan sorot mata yang sama sekali tidak kukenal

“Akang tidak bisa menyembunyikan seorang pembunuh, ataupun berpura-pura menjadi pembunuh. Akang mohon, lalui semua sesuai fakta Dek. Lina harus mempertanggungjawabkan…” (tenggorokanku tercekik tak mampu melanjutkannya)

Mataku terbelalak. Lina menusukkan dadanya tepat pada ujung runcing dari pisau yang ku pegang. Tanganku pun demikian. Entah reflek atau apapun alasannya, aku mendorong pisau itu masuk ke dadanya. Darahnya sudah mengucur. Dua darah telah menyatu dalam satu pisau, pisau yang masih ku pegang dengan gemetar dan aliran air mata yang terus bergantian turun dari singgasananya. Aku bahkan tak kuat untuk menarik pisau yang masih menancap di dada kekasihku. Surat wasiat yang sudah tergeletak sedari tadi di tanah yang aku pijaki, sudah memiliki beberapa tetesan dari darah yang mengucur dari tanganku.

Dek Lina sudah melemas, tubuhnya tumbang sudah. Aku mencoba memapahnya. Menidurkannya pada posisi yang ternyaman. Pisau itu masih menancap di dadanya. Tanganku pun masih pada posisi yang sama.

“Kang. Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Itu kan yang akan kamu ucapkan sebelum aku menusukkan dadaku.” Ia tertatih-tatih mengucapkan kalimat itu. Aku masih pasrah dengan air mata yang masih saja enggan untuk usai

Lina menggenggam tanganku yang masih saja memegang pisau yang menusuk dadanya.

“Ini bukan keputusanku, tapi pilihan yang kamu pilih. Jangan menyusul aku dan Difa Kang. Kamu yang bilang, harus ada pembunuh dalam kematian ini. Aku tidak melarangmu untuk hidup kembali setelah hukumanmu nanti. Tapi, aku tidak pernah rela melihatmu bersanding dengan wanita lain selain aku. Jangan mati sekarang Kang. Setidaknya, hiduplah untuk mempertanggungjawabkan kematianku. Aku sangat mencintaimu Kang Bara, dan aku menyesal telah membunuh Nadifa” Dia bahkan memaksakan mulutnya bersuara hanya untuk mengucapkan pesan dan penyesalan di ujung kematiannya.           Aku telungkupkan wajahku di samping luka di dadanya. Tangan ini, masih saja tak mampu untuk menarik pisau yang telah menghilangkan dua nyawa. Nyawa dua wanita yang mencintaiku.

Malam harinya, ada cahaya yang menyinari tanah kematian ini. Aku tak henti memandang dua mayat di hadapanku. Tanganku sudah berhasil terlepas dari gagang pisau itu. Namun, tak ada pergerakkan berarti dari tubuhku. Aku hanya duduk lesu dengan tatapan kosong. Memandang dua wanita yang dipenuhi darah segar dari tubuhnya, dan sesekali mengalihkan pandanganku pada selembar kertas putih yang kini berubah menjadi kertas berlumur darah. Surat wasiat terkutuk itu, telah membunuh dua wanitaku.

Orang-orang kepercayaan Difa berhasil menemukan keberadaan mobilnya. Begitu pun polisi yang mengekor di belakang mobil milik salah satu pegawainya. Tidak ada tersangka lain yang bisa disalahkan kecuali lelaki ini. Lelaki dengan tangan berlumur darah, serta bercak darah yang hampir memenuhi pakaian yang ia kenakan. Tanpa perlawanan, aku pasrahkan tubuhku digiring polisi. Aku tak tahu persis apa yang terjadi saat itu. Yang aku pikirkan, hanya menyiapkan bagaimana nanti aku harus menghabisi nyawaku.

            Teruntuk surat wasiat peninggalan orang tuaku, terima kasih, telah membunuh tiga jiwa. Difa, wanita sempurna yang mencintaiku. Lina, wanita polos yang aku cintai dan mencintaiku hingga di ujung kematiannya, serta seorang lelaki yang akan menyusul dua wanita itu setelah melaksanakan pesan terakhir dari kekasihnya, Bara.

 

Elsa Rakhmanita

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment