Beberapa hari yang lalu saya mengobrol dengan 2 orang teman saya sewaktu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kini mereka sedang menempuh gelar sarjana pendidikan teknik mesin di dua universitas yang berbeda. Meskipun saya berbeda program studi, tetapi tetap saja kami bertiga termasuk dalam lingkup kependidikan, yang nantinya disiapkan sebagai guru di masa depan.
Setelah mengobrol ngalor-ngidul, kemudian terlintas di pikiran kami bertiga “opo nek lulus kowe arep dadi guru?”, atau “apa kalau kamu lulus mau jadi guru?”.
Kedua teman saya memberikan pendapat yang sama yakni memilih mengutamakan mencari pekerjaan di perusahaan daripada menjadi guru. Mereka menempatkan opsi menjadi guru menjadi nomer dua. Salah satu teman saya memberikan alasannya, yakni karena ia sudah merasa cocok dalam dunia kerja karena memang ia telah bekerja sebelum kuliah. Adapun teman saya yang satunya menjawab bahwa ia ingin mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk melanjutkan studinya. Memang hal ini saya anggap sebagai hal yang wajar. Meskipun kami bertiga telah memilih jalan sebagai calon guru, namun jiwa SMK kami masih ada. Jiwa-jiwa pekerja.
Salah siapa?
Berdasarkan Permendikbud No. 87 Tahun 2013 tentang Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, pemerintah melaksanakan program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang bertujuan untuk mempersiapkan lulusan S1 kependidikan dan S1/DIV non kependidikan yang memiliki bakat dan minat sebagai guru agar menjadi guru yang menguasai kompetensi dengan standar nasional.
Program PPG yang bisa dibilang menyulitkan langkah lulusan kependidikan untuk menjadi guru. Kami yang telah menempuh sarjana keguruan masih harus menjalani persaingan dengan sarjana non-kependidikan lainnya dalam program PPG. Hal ini jelas membuat lulusan kependidikan kecewa. Lulusan kependidikan yang telah menghabiskan waktunya 4 tahun di ranah pendidikan disamakan dengan non-kependidikan yang hanya setahun. Sehingga banyak lulusan kependidikan yang mengurungkan niatnya untuk menjadi guru.
Ditambah lagi dengan wacana dihapuskannya program PPG SM3T dan diganti dengan PPG Reguler. Dimana di PPG Reguler ini tidak di subsidi oleh pemerintah, alias kita harus membayar biaya sendiri. Dengan biaya yang tak terbilang murah, membuat kita berpikir ulang.
Bahkan sebelum diterapkannya program PPG, nasib guru maupun calon guru sudah mengkhawatirkan. Guru-guru honorer contohnya, gaji mereka terbilang tak cukup untuk menghidupi mereka sendiri. Bahkan guru yang sudah menjadi PNS tak ada jaminan hidupnya sejahtera, apalagi yang hidup di kota besar.
Adapun lulusan kependidikan yang memilih bekerja daripada menjadi guru. Mungkin alasan mereka sama seperti teman saya tadi, yakni mendapatkan penghasilan. Lantas apakah calon guru yang tidak memilih menjadi guru itu salah? Mungkin saja tidak, karena memang alur untuk menjadi guru yang semakin dipersulit itu mungkin alasannya. Lulusan kependidikan, yang bisa merubah masa depan Indonesia dengan mendidik generasi muda, dipersulit? Lantas apa gunanya kuliah kita selama 4 tahun?
Rohmat Wisnugroho