Suara gemericik air yang jatuh ke bumi membuat seorang gadis menyunggingkan senyum di bibirnya. Gadis itu sangat menyukai hujan, menurutnya hujan bisa memberi kebahagiaan dalam hidupnya.
Nama gadis itu adalah Rain Aleshia Dirgantara, umur enam belas tahun. Dia bukan gadis biasa. Rain, begitu ia akrab disapa. Memiliki kelemahan, yaitu tidak bisa berjalan sejak lahir. Dulu, Mamanya mengalami pendarahan secara terus-menerus yang membuat dirinya menjadi seperti ini.
Namun Rain tidak menyerah dengan keadaan, ia bercita-cita menjadi penulis agar bisa membangnggakan orang tua dan kakak laki-lakinya, Nichol Aland Dirgantara, usia dua puluh tahun. Kakak yang sangat Rain sayangi. Ia adalah sosok yang selalu melindunginya dan selalu memberi motivasi untuknya.
Sore ini cuaca sedang hujan. Bukannya berdiam diri di dalam rumah, Rain malah turun dari kasurnya menuju kursi roda. Setelah duduk, ia mengayuh kursi rodanya menuju halaman rumah. Sesampainya di pintu, ada suara seseorang yang menghentikan langkahnya. “Rain, di luar hujan, Nak. Nanti dimarahin Abang kalau main hujan-hujanan.”
Rain menoleh, tampak Ibunya sedang berdiri di belakangnya. Narnia Aleshia, umur sudah mencapai kepala empat. Namun, masih terlihat cantik.
Rain menunjukan deretan giginya yang rapi. “Ma, Abang kan masih kuliah. Rain cuma bentar kok, janji deh,” ucap Rain sambil menunjukan jarinya yang berbentuk huruf V.
Narnia menggelengkan kepala heran, mengapa anaknya yang satu ini sangat menyukai hujan dan kalau hujan sudah datang, putrinya itu selalu keluar untuk bermain dengan air itu, satu-satunya yang bisa melarang adalah Nichol, kakaknya. “Ya udah, kalau kamu maunya begitu. Tapi, Mama ngnggak tanggung jawab kalau Abang marah.”
Rain mengacungkan jempol. “Sip deh, makasih Mama Rain yang cantik! Rain I’m coming!” seru Rain lalu mengayuh kursi rodanya menuju halaman rumah, merasakan air dari langit yang mengguyur tubuhnya.
“Astagfirullah, Rain!” seru Nichol yang baru saja turun dari angkot langsung menghampiri adiknya yang kini menunduk ketika mendengar suaranya. Nichol menghampiri adiknya itu, menatapnya dengan pandangan khawatir. Ia berjongkok lalu menaikan tubuh mungil Rain ke punggungnya. “Assalamualaikum,” ucap Nichol.
“Wa’alaikumsalam, Abang udah pulang.” Narnia menghampiri kedua anaknya itu.
“Iya Ma, tunggu bentar Abang mau ngomong berdua sama Rain.” Nichol membuka pintu kamar Rain dan mendudukannya di kasur.
Nichol duduk di samping Rain. “Abang kan udah bilang, jangan pernah main hujan-hujanan, Abang ngnggak mau kamu sakit. Obat-obatan kamu udah mahal, ekonomi kita udah berubah Rain, ngnggak kayak dulu lagi. Kamu ngerti ngnggak, sih?”
Ya, dulunya keluarga ini adalah keluarga yang bergelimang harta.Tapi, sejak ayah mereka berselingkuh dan mengkhianati Mamanya dan memilih perempuan lain, semuanya berubah. Narnia masih bertahan demi anak-anaknya. Tapi, lama-kelamaan harta mereka habis karena perusahaan mereka pun bangkrut dan orang tua mereka bercerai.
Rain menunduk. “Maafin Rain, Rain salah.”
Nichol mengangkat dagu adiknya itu agar menatapnya. “Rain, kamu itu lemah gampang capek. Abang tadi ke rumah sakit, kata dokter, penyakit kamu semakin parah. Tapi, abang bakal cari cara biar kamu sembuh, gimana pun caranya.”
Rain memang memiliki penyakit pembekuan darah di kaki dan di kepala. Untuk memperpanjang umurnya, Rain harus meminum obat-obatan setiap harinya. Rain malah tersenyum.
“Berarti bentar lagi Rain pergi dong Bang? Seharusnya abang seneng dong, nanti nggak ada yang ngerepotin abang sama Mama lagi.”
“Rain!” teriak Nichol. Ia mengusap wajah menyesal, karena sudah membentak adiknya itu. Ia memegang bahu Rain. “Abang perjuangin kamu untuk sembuh, masa kamu nggak mau berjuang buat diri sendiri?”
“Tapi Rain udah capek Bang, capek setiap hari harus minum obat-obatan itu, ngerepotin abang, setiap pulang abang ngurusin Rain. Nanyain Rain udah makan belum. Kalau tangan Rain lemes tiba-tiba abang nyuapin Rain kalau kaki Rain sakit, abang selalu meluk Rain sampe Rain tenang, kadang tidur masih meluk Rain. Rain capek jadi beban buat abang.”
“Rain denger abang.” Nichol merengkuh bahu adiknya itu. “Kamu itu kayak hujan. gampang baper terus nangis. Nah abang jadi pelanginya.” Nichol menarik bibir adiknya itu membentuk sebuah senyuman. “Bikin Rain senyum.”
Rain tersenyum lalu memeluk Kakaknya itu. “Makasih Bang, selalu ada buat Rain.”
“Sama-sama. Sekarang kamu mandi, ganti baju abis itu kita makan, ya.” Nichol mengacak pelan rambut Rain lalu keluar dari kamar adiknya itu.
Malam ini Nichol melewati kamar Rain yang kebetulan pintunya terbuka setengah. Pria itu berjalan mendekat, agar tahu apa yang dilakukan adiknya. Terlihat Rain sedang menulis di sebuah buku yang sudah lusuh.
Nichol merasa sedih melihat adiknya seperti itu. Biasanya, Rain selalu mengetik apa saja di laptop. Tapi itu dulu, sekarang takdir sedang tidak berbaik hati pada keluarga ini. Nichol melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Ia duduk di kasur. “Aku harus beli laptop buat Rain, gimana pun caranya.” Memang, Nichol sudah tahu tentang cita-cita Rain yang ingin menjadi penulis. Ia selalu mendukung apa pun yang di lakukan adiknya itu, selama itu untuk tujuan positif dan berguna untuk masa depannya kelak.
***
Satu bulan kemudian, Nichol pulang ke rumahnya dengan menenteng sebuah tas laptop. Ya, pria itu baru saja membeli laptop. Walaupun bekas, tapi kondisinya masih bagus. Ia berjalan menuju pintu lalu mengetuknya. “Assalamualaikum.”
Tak lama ada yang membukakan pintu. Itu adalah adik kesayangannya, Rain. “Wa’alaikumsalam, Abang udah pulang.”
“Iya, Abang punya hadiah buat Rain.” Nichol mendorong kursi roda adiknya menuju kamar lalu mengendong Rain dan mendudukannya di ranjang.
Pandangan Rain terfokus pada tas laptop itu. Nichol mengambilnya dan memberikannya pada gadis itu. “Ini laptop buat Rain, Rain mau jadi kayak Erisca Febriani, ‘kan?”
Memang, beberapa bulan lalu Nichol mengajak Rain ke toko buku. Pandangan Rain terkunci pada satu novel. Dear, Nathan. Nichol akhirnya membelikan novel itu. Selesai membacanya Rain berkata, “Rain udah ketemu tujuan hidup Rain. Rain mau jadi penulis Bang, kayak Kak Erisca Febriani. Novelnya kayak kisah hidup kita ya, Bang. Nathan sama broken home kayak kita.”
Mata Rain berbinar, tangannya gemetar menerima laptop itu. “Makasih, Bang. Abang selalu sayang sama Rain.”
“Abang, Mama mau bicara.” Tiba-tiba ada sebuah suara membuat mereka menoleh. Narnia sedang berdiri di ambang pintu.
Nichol mengangguk. “Iya, Ma.” Ia keluar mengikuti langkah Mamanya menuju kamarnya. Setelah kedua orang itu pergi, Rain turun dari kasur, menaiki kursi roda lalu mengayuh kursi rodanya keluar kamar.
Niat awalnya mengambil minum di dapur, tapi ia berhenti karena mendengar pembicaraan Mama dan kakaknya. Karena rasa penasaran, ia pun mendekatkan kursi rodanya ke pintu dan menajamkan pendengarannya. Rain mendengar Mamanya berbicara.
“Abang, kenapa kamu masih mendukung Rain jadi penulis! Dia itu hanya akan hidup di dunia khayalan. Mama nggak mau dia berangan-angan dengan cita-cita yang nggak akan bisa dia capai!”
“Kenapa Mama selalu beranggapan kalau Rain selemah itu? Abang yakin dia bisa meraih mimpinya. Bisa bikin kita semua bangga, Ma.”
“Itu karena adik kamu nggak sempurna! Dia nggak akan bisa jadi apa-apa! Mama selama ini nyimpen rahasia ke Rain, kalau kamu masih kuliah. Padahal kamu kerja banting tulang buat keluarga kita. Terus sekarang kamu beliin laptop buat dia, kamu ngumpulin uang susah payah, ‘kan?”
Air mata Rain jatuh. Jadi selama ini kakaknya berbohong kepadanya? Kakaknya berkerja untuk menghidupi keluarga mereka. Belum lagi biaya rumah sakit dan obat-obatan yang mahal, kakaknya itu rela putus kuliah demi menghidupi keluarga.
Rain membuka pintu kamar. “Maafin Rain Bang, Rain emang adik yang nggak berguna! Rain cuma anak lemah yang nggak bisa banggain keluarga!” seru Rain lalu mengayuh kursi roda secepat mungkin menuju kamarnya lalu menutup pintu.
“Rain, dengerin Abang dulu.” Nichol berjalan menuju kamar adiknya lalu membuka pintu kamar Rain. Ia menemukan gadis kecil itu sedang menangis di pojok kamar dengan tangan memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana.
Nichol duduk di samping Rain. “Walaupun Mama beranggapan kalau kamu nggak bisa jadi penulis, tapi ada Abang di sini. Abang percaya kalau kamu bisa.”
“Rain cuma jadi beban buat keluarga ini. Bener kata Mama, Rain cuma anak cacat yang nggak bisa meraih cita-cita. Lagian, orang-orang mana mau beli karya anak cacat kayak Rain?’
Nichol memegang bahu Rain. Mau tidak mau Rain menatap wajah kakaknya itu. “Rain, kamu pasti bisa. Ada Allah sama Abang yang selalu dukung kamu. Jangan anggap kamu cacat, kamu sama kayak anak-anak lain yang punya cita-cita dan bisa meraihnya. Abang yakin itu.”
Rain tersenyum. “Rain janji bakal jadi penulis dan bikin Abang sebagai orang pertama yang bangga sama Rain.”
“Nah, itu baru Rain yang Abang kenal, selalu senyum dan ceria. Sini peluk dulu, dong.” Nichol memeluk adiknya itu erat.
“Rain sayang Abang,” ucap Rain sambil mengeratkan pelukannya.
“Abang juga sayang Rain lebih dari yang Rain tau,” balas Nichol. Ia berdoa pada Allah agar cita-cita adiknya ini dapat tercapai.
Sejak hari itu, Rain mulai menekuni hobinya mengetik cerita dan mempublikasikannya di aplikasi Wattpad. Ceritanya tentang perjuangan Kakaknya yang banting tulang demi menghidupi keluarga. Namun, tetap dibumbui imajinasinya.
***
Pagi ini Rain sedang di kafe. Jika kalian bertanya kenapa Rain tidak sekolah. Jawabannya adalah Rain putus sekolah sama seperti kakaknya, sejak keluarganya bangkrut, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Alasannya gadis itu tidak sampai hati membiarkan keluarganya beban yang lebih dari ini. Sudah cukup ia membebani keluarga dengan biaya rumah sakit dan obat-obatannya yang mahal itu.
Rain kesini bukan untuk bersenang-senang, melaikan mengetik cerita dan mempublikasikannya di Wattpad. Kafe ini mempunyai jaringan internet yang memudahkan Rain untuk melihat notifikasinya di dunia oranye itu.
“Hai Rain, udah berapa pembaca hari ini?” tanya seseorang membuat Rain menoleh. Terlihat Berta sedang menatapnya sambil tersenyum.
Berta adalah pemilik kafe ini. Dia sangat baik, Kak Berta juga yang menjadi tempat curhat Rain setelah kakaknya. Wanita itu prihatin kepada Rain dan memperbolehkan gadis mungil itu untuk berlama-lama di cafenya setiap hari dan menikmati jaringan internet dengan gratis.
“Alhamdulilah jebol lagi, Kak.” jawab Rain sambil tersenyum.
“Oh, iya? Coba Kakak liat.” Berta menghampiri Rain dan duduk di kursi samping Rain.
Rain menunjukan layar laptopnya dan Berta tersenyum. “Alhamdulilah, ya Rain, Kakak ikut seneng buat kamu. Tuh kan, Kakak bilang juga apa. Kamu itu berbakat banget jadi penulis. Jadi, kamu harus tetep semangat. Oke?”
“Iya Kak, makasih udah biarin Rain ngerepotin Kakak selama di sini ya.”
Berta mengelus rambut panjang Rain. “Kakak seneng kamu disini. Nanti kalau kamu sukses Kakak ikut bangga juga, ‘kan?”
“Iya, Kak. Kakak orang keempat yang Rain buat bangga. Setelah Abang, Mama dan Papa.” Rain memeluk Berta. Sampai akhirnya sebuah notifikasi dari laptop Rain membuat mereka melepaskan pelukan dan fokus menatap layar laptop.
Rain membuka pesan itu, yang ternyata sebuah pesan pribadi dari penulis kesukaannya.
Hai Rain, saya Erisca Febriani. Saya telah membaca karya kamu. Jujur, saya tersentuh ketika membacanya. Saya mengirim pesan ini untuk menawarkan kontrak penerbitan untuk ceritamu. Kebetulan saya mempunyai kenalan seorang editor naskah dan ia sangat tertarik dengan ceritamu! Saya harap kamu menyetujui tawaran ini. Terima kasih.
Rain tidak berkedip ketika membaca isi pesan itu. Ia membaca berulang kali, takut kalau matanya sedang berhalusinasi. Tapi tidak, isinya tetap sama. Ia mematung tak percaya. Hatinya tak berhenti mengucap syukur kepada Allah.
“Alhamdulilah, Rain! Kakak ikut seneng buat kamu, kamu berhasil bikin semua orang bangga. Termasuk Kakak.”
***
“Maafin Mama sayang, Mama udah benci sama cita-cita kamu. Maafin Mama.” Narnia membenamkan wajahnya di pangkuan Rain lalu menangis di sana.
“Rain udah maafin Mama, kok.” Rain memegang bahu Narnia membuat wanita paruh baya itu menatap putrinya.
Rain mengusap airmata Narnia dengan ibu jarinya. “Mama nggak boleh nangis. Ini, kan, hari bahagia Rain. Rain nggak mau liat siapapun nangis hari ini, semua harus senyum dan ketawa. Oke?”
“Papa bangga sama kamu sayang. Meskipun Papa nggak lihat perjuangan kamu. Tapi, Papa janji. Setelah ini Papa akan selalu dukung kamu sayang,” ucap Papanya.
Bagaskara Dirgantara, umurnya sudah mencapai kepala empat. Bagi Nichol dan Rain, papanya ini tetap menjadi sosok kedua yang paling mereka banggakan. Meskipun beliau sudah menyakiti hati mamanya, mereka tetap menyayangi pria paruh baya ini. Karena jika tidak ada beliau, mereka tidak akan terlahir ke dunia, bukan?
Rain memeluk papanya. “Makasih Pa, udah dateng dan ngasih dukungan ke Rain. Rain sayang Papa!”
“Sama Abang enggak nih? Jahat, ya!” ucap Nichol sok dramatis.
Rain menatap Nichol lalu mengelus rambutnya. “Sayang kok, tapi dikit.” ucap Rain sambil tertawa. Sontak hal itu pun membuat semua orang tertawa.
Tuhan memberikan kita hidup itu untuk berjuang, merasakan pahit manisnya kehidupan dengan tawa dan tangis yang mengiringi. Keputusasaan itu sering terjadi. Tapi kita harus tetap berpegangan pada harapan dan mimpi, karena kedua hal itulah yang mengantarkan kita menuju kesuksesan.
Salsabila Jatiardi