Kebingungan massal seolah terjadi pada beberapa bulan terakhir ini. Seperti isu mengenai kebhinekaan yang sekarang terus diperbincangkan sejak kasus penistaan agama yang menggemparkan di akhir 2016. Isu kebhinekaan tersebut menimbulkan berbagai pemberitaan yang kebanyakan tidak jelas sumbernya dan pada akhirnya berita itu justru menjadi ujaran kebencian. Berita yang tidak jelas ini membuat masyarakat menjadi sangat sensitif terhadap isu kebhinekaan. Masyarakat yang pada awalnya tak tahu harus bersikap seperti apa akhirnya terpecah ke dalam berbagai kubu yang saling meneriakkan kebencian satu sama lain meskipun mereka tak sungguh-sungguh mengerti dengan arus kubu yang diikutinya.
Pemerintah pun dibuat kalang kabut dengan fenomena berita hoax yang semakin menjamur di berbagai lini masa tersebut sehingga pemerintah harus repot-repot membuat undang-undang yang mengatur konten yang ditulis di lini masa. Pemerintah yang tak juga memberi kejelasan tindakan terhadap oknum penyebar kebencian membuat masyarakat cenderung mengikuti arus berita hoax tersebut tanpa mau meneliti lebih lanjut mengenai kebenaran isi berita.
Tak cukup pada permasalahan kebhinekaan, pada awal 2017, masyarakat Indonesia juga dibuat heran dengan kenaikan harga cabai yang merupakan salah satu bahan pangan pokok rakyat Indonesia hingga melebihi batas kewajaran. Bukan hanya itu, pemerintah juga membuat beberapa kebijakan yang dinilai oleh sebagian kalangan tidak pro rakyat. Salah satunya adalah kenaikan tarif listrik pada daya 900 VA dari Rp. 605/kWh menjadi Rp. 1467,28/kWh. Pembayaran tarif untuk pengurusan surat kendaraan juga naik hingga tiga kali lipat.
Momen peluncuran kebijakan ini dimanfaatkan oleh para pembela kepentingan rakyat yakni mahasiswa untuk mengkritik kebijakan pemerintah era Joko Widodo. Seperti dilansir dari situs tribunnews.com mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melancarkan aksi yang dinamakan sesuai dengan tren aksi yang mengusung tema kebhinekaan saat ini yakni menggunakan kata “bela” dan menggunakan simbol angka. Aksi para mahasiswa ini dinamakan aksi bela rakyat 121 karena dilaksanakan pada tanggal 12 Januari 2017.
Rupanya fenomena kebingungan massal bukan hanya dialami masyarakat awam, tetapi juga mahasiswa yang tergabung dalam aksi 121 tersebut. Karena pada kenyataannya aksi itu hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa dari beberapa kota. Jauh dari yang diharapkan oleh penggagas aksi tersebut. Kelompok mahasiswa lain justru menilai aksi itu adalah aksi yang sangat gegabah dan menunjukkan tingkat kekritisan mahasiswa semakin berkurang. Secara kasat mata, memang kebijakan di awal tahun 2017 dengan kenaikan beberapa tarif dan harga cabai yang melambung tak terkendali seolah mencekik rakyat. Tapi jika ditelusur lebih jauh, rakyat mana yang dirugikan? Cabai memang merupakan salah satu pelengkap di banyak kuliner khas Indonesia, tetapi apakah rakyat Indonesia tidak bisa hidup tanpa cabai? Kemudian kenaikan tarif pengurusan surat kendaraan juga dinilai memberatkan rakyat. Tapi rakyat yang disasar pemerintah di sini adalah rakyat kelas menengah ke atas. Listrik daya 900 VA pun lebih banyak digunakan oleh masyarakat kelas menengah. Lalu apakah mahasiswa sekarang adalah pembela rakyat kelas menengah ke atas? Bukan lagi rakyat miskin yang bahkan belum sempat menikmati indahnya listrik di usia kemerdekaan Indonesia yang ke 71?
Aksi 121 tak banyak disorot media karena memang terkesan sebagai aksi yang terlalu terburu-buru sehinga tidak dipersiapkan secara matang. Seusai aksi tersebut juga tak terdengar gaung keberlanjutan sikap mahasiswa terhadap kepentingan rakyat yang dibelanya. Seolah hanya ajang pertunjukan eksistensi mahasiswa yang ingin dicap pejuang kepentingan rakyat. Akhirnya kebingungan ini pun harus diinsafi oleh masing-masing individu baik pemerintah, media, mahasiswa maupun masyarakat yang ingin tetap menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika. Seperti yang disampaikan W. S Rendra dalam puisi Sajak Pertemuan Mahasiswa.
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”.
Alfi Nur Jannah