Belajar sejarah sama halnya membuka pemikiran kita untuk suatu pengetahuan yang luas mengenai peristiwa atau kisah di masa lalu. Ibarat suatu rumah dengan jendela di segala sisinya. Pikiran kita tidak hanya sebatas melihat dinding-dinding rumah saja, melainkan kita pun sanggup melihat keluar jendela sebagaimana kita mencari pengetahuan. Dari berbagai macam literasi yang tersedia sekarang ini, kita mampu mengembangkan pengetahuan kita mengenai dunia kesejarahan. Dan dengan belajar sejarah kita dapat mengetahui nilai atau pesan yang hendak disampaikan.
Namun kondisi sekarang ini, membuat orang beranggapan bahwa sejarah merupakan barang kuno, usang, dan ketinggalan jaman. Suatu kekeliruan fatal dalam dunia pendidikan ketika sejarah hanya terpaku pada penghafalan nama, lokasi, dan tahun peristiwa. Sehingga itu membuat pandangan mengenai sejarah hanyalah sebatas peristiwa di masa lalu tanpa perlu mengetahui nilai dan makna yang terkandung di balik suatu kejadian.
Di Indonesia, sejarah dianggap demikian karena kebijakan pemerintah, terutama sejak orde baru, yang memasukkan unsur politik ke dalam pembelajaran sejarah. Hal ini bertujuan untuk mengamankan kepentingan penguasa. Sejatinya, penguasa sangat sadar, jika generasi muda belajar sejarah dengan sungguh-sungguh, maka hal itu dapat mengganggu jalannya pemerintahan.
Oleh karena itulah, berbagai peristiwa sejarah dipolitisir dengan mengaburkan narasi peristiwa sesungguhnya. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah merangkul sejarawan untuk menuliskan narasi sejarah sesuai selera penguasa sebagai upaya memperkuat legitimasi. Sama halnya dengan raja-raja nusantara yang mengamanahkan seorang pujangga kerajaan untuk menuliskan kebesaran kerajaan dalam bentuk prasasti maupun kitab.
Seperti Prasasti Kutai yang ditemukan di Muara Kaman, Kalimantan Timur, yang memaparkan dengan jelas kedigdayaan raja Mulawarman ketika memerintah Kerajaan Kutai Kertanegara sekitar tahun 400 Masehi. Dan Kitab Nagarakertagama yang menceritakan masa kejayaan Kerajaan Majapahit ketika diperintah oleh Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada abad ke-14.
Historiografi sejarah versi penguasa dapat dilihat dari sisi penonjolan aktor sejarah yang berasal dari kalangan penguasa. Dan menganggap bahwa rakyat kecil hanyalah sebatas pelengkap saja. Namun hal ini ditentang oleh Sartono Kartodirjo, yang menyebutkan wong cilikpun juga bisa melahirkan sejarah seperti yang ia tuliskan dalam Pemberontakan Petani Banten (1888).
Monopoli kebenaran menjadi latar belakang historiografi sejarah, pesanan penguasa bukan adanya perbedaan sudut pandang penulisan sejarah. Sehingga historiografi peristiwa sejarah yang seperti ini akan membentuk stigma di masyarakat. Dan sampai sekarang hal itu masih bertahan. Meski, sudah banyak tulisan mengenai peristiwa yang menyebutkan keterlibatan pihak lain.
Sejarah versi penguasapun digunakan sebagai media indoktrinasi. Didukung dengan bantuan media elektronik seperti pembuatan film. Adapun yang bertujuan untuk mencuci otak alam pikiran masyarakat.
Manipulasi-manipulasi sejarah inilah yang berdampak pada dinamika kehidupan saat ini. Makna dan nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah seakan lenyap, dan malah menimbulkan rasa permusuhan masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya sehingga manggangu kestabilan nasional.
Dengan dalih mengamankan jalannya pemerintahan, banyak penguasa sekarang tidak berkaca pada sejarah dimana banyak kerajaan di Nusantara berakhir pada keruntuhannya. Akankah Indonesia juga berakhir demikian? Hal itu bisa saja terjadi. Dalam buku Menghadang Negara Gagal Sebuah Ijtihad Politik (Dr Adhyaksa Dault; 2012), dipaparkan dengan jelas hal-hal yang perlu diantisipasi oleh pemerintah supaya Indonesia tidak masuk kedalam fase keruntuhan. Demi kelangsungan sebuah negara, kepemimpinan politik adalah faktor determinan. Pemimpin harus mengetahui seluk-beluk sejarah bangsanya.
Sebagai Bapak Proklamator, Soekarno pasti kecewa melihat anak-anak penerus bangsa kurang tertarik dengan sejarah. Bukankah beliau pernah berkata, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dan bukankan beliau juga mengkhawatirkan keberlangsungan negara kita. Nampak jelas dalam sebuah pidato kenegaraan di akhir masa pemerintahannya bahwa, “perjuanganku lebih mudah karena mengusur penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dengan sejarah, Soekarno mampu memimpin negara ini dan melepaskan Indonesia dari belengu kolonialisme dan imperialisme.
Semua itu beliau sampaikan karena ia paham benar bagaimana perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan sampai masa kolonial. Soekarno sadar betul dengan belajar sejarah, ia menjadi tahu apa yang menjadi kesulitan, masalah dan keinginan rakyat. Oleh karenanya, kepada elite politik nasional dan lokal, jika ingin berhasil dalam kepemimpinannya, belajar sejarah adalah syarat mutlak.
Disampaikan pula oleh Bung Karno dalam pidato HUT Proklamasi tahun 1966 bahwa, “Jangan melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari masa yang akan datang.” Dengan demikian sejarah mengajarkan pengalaman dan kebajikan terhadap umat manusia. Dan dengan sejarah kita dapat mengetahui kesalahan-kesalahan manusia di masa lalu atau mengetahui kunci keberhasilan pendahulu kita. Sehingga diperlukan kesadaran akan pentingnya belajar sejarah demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Krisnanda Theo