Asmara …. Membungkus sukmaku yang telanjang Rindu dari ujung waktu Mendesak, menuntut untuk bertemu Dari rangkaian penggalan waktuku Ku taburi dengan kembang kemuakan Asmara,
Puisi
Opera Tanpa Nama
Aku diam pada malam kelam di ujung hitam Memeluk dingin angin yang berlarian Ketika rembulan sembunyi di sudut sepi Pada retak ku rasa hancur
Shinta
Shinta, wanita …… beringas memangsa rasa Menyerang hati yang mati rasa… Mengurung cinta dengan pucuk cinta Mengurung rindu yang kian menggebu Shinta, Sungguh aku
Arjuna
Arjuna …. Ku terima sepucuk surat darimu Dengan lukisan mawar merah yang merekah Aku duduk, Membaca aksara yang kau rangkai penuh makna Kata demi
Kesumat
Rongga dadaku sesak, berjejalan Abjad dan aksara yang merangkai sebuah nama Nama sang pengecut dan pendosa Kerangka keras dengan isi tinta buram Menggores gores
LARAKU PENUH DOSA
Sabtu malam itu Ketika sayu hujan begitu sudi menerjang bumi Sapaan manis burung berkicau riang mengantar senja pada peraduan Molek sungguh setiap tubuh hawa
Saat
Saat semua perasaan Keluhkan sebuah perpisahan Keluarkan sebuah kerinduan Kembalikan sebuah ratapan Saat kisah sudah tenggelam Namun rasa belum sepenuhnya padam Menolak untuk melupakan
Kenapa
Kenapa… Disini aku tersesat Sendiri, hilang dan tak kasat aku salah tempat bersandar pada tiang-tiang rapuh yang cacat sesak, sempit, gelap dan terinjak tak
Biar Dahulu
Biar dahulu Aku mungkin bukan aku yang dulu Bukan lagi yang masih bersamamu Waktu perlahan akan membawaku pergi Tetapi rasaku tetap tak berganti Waktu
Lajuku Untuk Bunda
Laju tak pantas menyerah Aku berjibaku dengan itu Dengan tumpukan kertas bak pisau Dengan peluh dipelipis Laju tak pantas menyerah Tanpa henti, tanpa kaki